Kamis, 06 September 2018

Terapi Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) di Jakarta Indonesia

rTMS adalah metode terapi non invasif untuk stimulasi otak dengan menggunakan magnet yang ditargetkan pada suatu area tertentu di otak. Pengaplikasian stimulasi berulang dapat memberbaiki komunikasi antar sel melalui potensiasi jangka panjang. Pada pelaksanaannya tidak dibutuhkan anestesi seperti pada terapi ECT, sehingga dapat menurunkan efek samping dari obat-obatan dan memiliki risiko yang jauh lebih rendah.
Prosedur ini berlangsung selama kurang lebih 30 menit hingga 1 jam per sesinya. Jumlah sesi terapi menyesuaikan dengan tingkat keparahan dan jenis penyakit yang diderita (biasanya 5 hari per minggu, durasi hitungan minggu - bulan). Saat prosedur berlangsung, pasien diposisikan duduk dan kumparan elektromagnetik akan dipasangkan didekat kepala pasien. Kemudian gelombang magnetic tersebut akan bergerak menuju bagian otak yang dituju dan menginduksi saraf-saraf tertentu. Target otak yang dituju berbeda-beda dengan frekeuensi yang bervariasi sesuai dengan penyakitnya.
Umumnya terapi ini digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit psikiatri seperti depresi atau skizofrenia, namun ternyata manfaatnya juga ditemukan untuk penyakit lain, seperti penyakit neurologis. Bahkan baru-baru ini ditemukan bhwa rTMS dapat membedakan jenis gangguan kognitif.

Efek samping yang mungkin timbul dari prosedur ini antara lain adalah :
- Rasa mengambang
- Gangguan pendengaran sementara
- Nyeri kepala ringan
- Kesemutan di wajah
- Kejang (sangat jarang)

Kontra indikasi rTMS adalah :
- Klip / kumparan aneurisma
- Pecahan peluru
- Alat pacu jantung atau ICD (implantable cardioverter defibrillators)
- Tato wajah dengan tinta magnetic yang sensitive terhadap magnet
- Stimulator yang diimplantasi
- Implan metal di telinga atau mata
- Stent di leher atau kepala
https://www.healthline.com/health/depression/repetitive-transcranial-magnetic-stimulation#how-it-works
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3271460/?report=printable

Indikasi penggunaan rTMS :
Diagnostik :
- Membedakan antara Alzheimer disease dengan Frontotemporal demensia
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28747446
Terapeutik :
- Depresi
Beberapa penelitian meneliti tentang penggunaan rTMS dibandingkan dengan ECT dan penggunaan obat-obatan antidepresan.
rTMS dinilai lebih aman dan efektif dibandingkan ECT.
Penggunaan rTMS bukanlah sebagai monoterapi, melainkan sebagai terapi adjuvant pada gangguan depresi.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20361902
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28030740
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0006322399002541

- Psikotik
Penggunaan rTMS dinyatakan efektif untuk mengurangi gejala halusinasi auditorik pada pasien psikotik.
Hasil beragam ditemukan pada penggunaan rTMS untuk menggurangi gejala negative pada pasien skizofrenia.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20361902

- Mania
Terapi rTMS pada pasien mania memiliki hasil beragam, tetapi dengan pengaplikasian pada target lokasi otak yang tepat ditemukan dapat mengurangi gejala.
https://ajp.psychiatryonline.org/doi/abs/10.1176/ajp.155.11.1608?url_ver=Z39.88-2003&rfr_id=ori:rid:crossref.org&rfr_dat=cr_pub%3dpubmed

- ADHD
Studi menemukan hasil yang menjanjikan untuk terapi tambahan pada pasien ADHD. Perbaikan atensi dan focus ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi rTMS.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12740156
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20521875

- OCD
rTMS pada OCD pada beberapa penelitian memberikan hasil yang beragam, ada yang menunjukkan efektivitas, namun ada pula yang tidak menunjukkan efektivitas.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3128260/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28030740

- Dyscalculia
Salah satu penelitian menunjukkan potensi penggunaan rTMS untuk meningkatkan kemampuan berhitung pada pasien dengan dyscalculia, namun penelitian lanjutan masih diperlukan.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3916771/pdf/fnhum-08-00038.pdf

- Stroke
rTMS digunakan sebagai terapi tambahan untuk menstimulasi koordinasi motorik pada pasien pasca stroke.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/j.1600-0404.2009.01195.x
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/j.1468-1331.2009.02746.x
http://n.neurology.org/content/65/3/466

- Parkinson’s Disease
Fungsi motorik pada pasien Parkinson ditemukan meningkat pada beberapa penilitian, dan dapat digunakan sebagai terapi tambahan.
Selain itu, pasien Parkinson yang mengalami depresi pun juga dapat diterapi dengan rMTS.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1046/j.1468-1331.2003.00649.x
https://link.springer.com/article/10.1007%2Fs10072-015-2345-4

- Gangguan kognitif (Alzheimer disease)
rTMS ditemukan dapat meningkatkan fungsi kognitif pada pasien geriatri yang mengalami gangguan kognitif.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28493371

- Kejang / epilepsi
Meski ada kemungkinan efek samping menginduksi kejang, ternyata rTMS pada frekuensi yang tepat justru dapat menurunkan kejang.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17493877

- Adiksi (rokok, alcohol, NAPZA)
Beberapa penelitian menunjukkan penurunan tingkat kecanduan (craving) pada rokok (nikotin), alcohol, dan obat-obatan terlarang. Terapi ini dapat digunakan bersamaan dengan terapi obat, psikoterapi, dan terapi tambahan lainnya.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19183128 (rokok)
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20078462 (alkohol)
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16971058 (kokain)

- Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
Beberapa penelitian tengah mencari efektivitas rTMS untuk ALS, meskipun hasilnya beragam, terapi ini layak untuk dipertimbangkan sebagai terap adjuvant pada pasien ALS.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20406177

- Fibromyalgia
rTMS menunjukkan hasil positif pada pasien dengan fibromyalgia dengan menurunkan rasa nyeri pada pasien, meskipun gejala depresinya tidak ditemukan perbedaan dibandingkan dengan placebo.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/papr.12276

- Tinitus
Penelitian awal menunjukkan potensi rTMS untuk terapi tinitus.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5301432/

- Afasia
Perbaikan afasia pada pasien post stroke dengan rTMS.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3589757/pdf/nihms430782.pdf

- Nyeri kronis
Hasil penelitian menunjukkan efektivitas rTMS untuk mengurangi rasa nyeri pada penderita nyeri kronis, meski begitu durasi dan frekuensinya masih perlu dikaji lebih lanjut.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5594801/

Sabtu, 17 Maret 2018

Beda Psikiater dan Psikolog

Pada tulisan saya tentang bagaimana perjuangan menjadi psikiater masih banyak pertanyaan yang belum bisa membedakan psikiater dan psikolog. Untuk itu saya mencoba menuliskan kembali apa beda psikiater dan psikolog.

Psikiater adalah seorang dokter (yang tentunya lulusan Fakultas Kedokteran) yang kemudian mengkhususkan diri dalam spesialisasi untuk mengobati pasien-pasien dengan gangguan jiwa dari yang ringan sampai yang berat dan karena psikiater adalah seorang dokter maka masyarakat memanggilnya "DOK".

Psikolog adalah seorang ahli kejiwaan yang sekolahnya di Fakultas Psikologi dan kemudian dapat melanjutkan studinya untuk menjadi psikolog Industri organisasi atau psikolog pendidikan atau psikolog klinis dan lainnya.

Jadi, jika seseorang mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang dokter ahli kejiwaan (Psikiater) maka ia harus menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran terlebih dahulu dan hal ini tidak bisa ditawar lagi. Demikian pula jika seseorang ingin menjadi ahli kejiwaan (Psikolog) tetapi bukan DOKTER maka ia harus menempuh pendidikannya di Fakultas Psikologi.

Seorang psikolog bisa juga dipanggil "DOK" jika ia telah mencapai gelar DOKTOR (S3).

Untuk menjadi seorang psikolog rata-rata masa studi adalah 6 tahun sedangkan untuk menjadi seorang psikiater (Dokter spesialis kedokteran jiwa) maka ia harus menempuh rata-rata masa studi selama minimal 10 tahun, bisa lebih lama tetapi tidak bisa lebih cepat dari itu. Belum lagi dulu ada peraturan harus tugas ke daerah dulu.

Seorang psikolog klinis biasanya bekerja bersama dengan psikiater di setting klinik maupun di Rumah sakit/ RS Jiwa. Tentunya, walaupun sama-sama bekerja di rumah sakit, seorang psikolog tidak diijinkan untuk menulis resep obat karena latar belakang pendidikannya bukan seorang dokter. Tetapi di lain pihak, seorang psikolog sangat ahli dalam melakukan tes diagnostik, tes IQ, Tes minat bakat, dan tes-tes kejiwaan lainnya yang tidak mampu dilakukan oleh seorang psikiater.

Keduanya mampu memberikan psikoterapi dan konseling dan sesuai standar internasional seyogyanya pemahaman seorang psikolog maupun psikiater tentang neuroscience sama baiknya.