Senin pagi 20 Oktober 2014, setiba saya di kantor setelah seminggu tidak masuk kantor karena memberi pelatihan di luar kota, saya dikejutkan dengan pengalihan rawat pasien dari teman sejawat saya. Pasien adalah seorang pasien wanita 27 tahun yang menderita gangguan bipolar mania (dulu lebih dikenal dengan istilah gangguan manik depresif) dengan kehamilan 5 minggu karena dihamili laki-laki yang tidak dikenal. Kehamilan ini adalah kehamilan tidak diinginkan yang kedua kalinya. Dari kehamilannya yang pertama, ia telah melahirkan seorang anak laki-laki yang saat ini telah berusia 4 tahunan dan karena penyakit mentalnya, ia tidak dapat mengurus puteranya tersebut. Sekilas pandang tentang gangguan bipolar mania ini, seorang penderita gangguan bipolar mania akan mengalami rasa senang yang berlebihan, meningkatnya nafsu seks, boros, mudah sekali menghambur-hamburkan uang tanpa memiliki pengendalian diri atas semua tindakannya tersebut. Kehilangan kontrol atas dorongan kehendak ini seringkali dimanfaatkan orang-orang disekitarnya baik secara ekonomi maupun seksual. Nafsu seks yang meningkat pada pasien ini sangat nyata sekali dan terus menerus merayu laki-laki disekitarnya, rupanya hal ini disalahgunakan oleh laki-laki yang ditemuinya karena pasien ini sempat menghilang dari rumah dan tidak pulang selama lebih dari seminggu. Kejadian seperti ini seringkali kami, para dokter spesialis kedokteran jiwa alias psikiater, temui menimpa pasien-pasien wanita dengan bipolar episode mania.
Sejam kemudian, kedua orang tuanya pasien ini datang menemui saya dengan satu tujuan yaitu meminta saya mengeluarkan surat rekomendasi agar pasien ini dapat digugurkan kandungannya dan kemudian dipasang alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) supaya tidak terulang kembali kejadian seperti ini. Saya tidak langsung setuju dengan maksud dan tujuan ini sebelum mengevaluasi apakah pengobatan yang selama ini diberikan kepada pasien sudah efektif. Di lain pihak, tindakan menggugurkan kandungan bertentangan dengan suara hati saya. Pada saat ini, salah satu obat yang berfungsi untuk mengendalikan perilaku dorongan kehendak yang tidak terbendung ini mungkin mempunyai risiko efek negatif pada janin yang berusia 5 minggu tersebut. Orang tua pasien berdalih bahwa dalam agamanya menggugurkan kandungan usia 5 minggu tidak berdosa dan pasien tidak mampu mengurus anaknya sehingga akan sangat berisiko juga bagi pertumbuhan dan perkembangan sang anak. Sejauh ini, seakan-akan argumentasi kedua orang tua pasien masuk akal walaupun saya menemukan fakta bahwa ternyata orang tua pasien telah lalai untuk memastikan putrinya mendapatkan pengobatan yang baik dan benar dengan membawanya rutin periksa rawat jalan ke psikiater.
Apakah suara hati dan perannya dalam tindakan moral
Terlepas dari semua hal itu, sebenarnya ada ganjalan berupa suara hati saya yang tidak setuju dengan tindakan aborsi apalagi melihat ada fakta bahwa pasien melakukan itu semua karena tidak dibawa berobat secara teratur oleh ‘care giver’-nya dalam hal ini orang tuanya. Menurut pater Sudarminta dalam buku Etika Umum yang disusunnya, suara hati adalah pedoman atau pegangan moral manusia dalam situasi konkret, disaat ia harus mengambil keputusan untuk bertindak. Hal ini mengusik kesadaran saya akan kewajiban moral saya terhadap kasus ini berdasarkan hukum moral. Berdasarkan hukum moral yang saya pahami, adalah suatu kesalahan besar jika saya merenggut nyawa seorang calon manusia yang tidak bersalah apa-apa dengan mengakhiri kesempatannya untuk hidup di dunia ini.
Sebagai suatu kesadaran, suara hati ini adalah salah satu proses akal budi saya dalam bertindak dan bukan hanya sekedar perasaan kasihan spontan saya pada janin tersebut. Kesadaran ini juga merupakan suatu endapan kesadaran akan nilai yang sudah diinternalisasikan pada saya sejak kecil melalui pendidikan sekolah, agama maupun nilai-nilai budaya dalam proses kehidupan saya. Secara spontan, suara hati saya telah berperan mengendalikan keputusan moral saya untuk tidak langsung mengatakan ya pada aborsi. Secara teknis saya memiliki beberapa poin yang bisa saya jadikan alasan pembenaran untuk merekomendasikan aborsi pada kasus seperti ini tetapi suara hati saya berperan dalam mengingatkan saya supaya tidak gegabah.
Kalau saya mengatakan bahwa saya memiliki suara hati yang secara spontan mengendalikan saya dalam mengambil keputusan moral, apakah itu berarti kedua orang tua pasien tidak memiliki suara hati? Jawabnya adalah mereka tetap memiliki suara hati. Semua manusia memiliki suara hati, hanya memang suara hati yang tidak sama dengan suara Tuhan (yang pasti benar), bisa saja keliru. Kekeliruan tentang isi kewajiban moral yang ditegaskan oleh suara hati dapat terjadi baik karena pemahaman dan kesadaran moral yang dimiliki atau diwarisinya dari lingkungan, budaya, dan ajaran nilai-nilainya itu secara objektif memang keliru atau ia yang keliru mengerti nilai-nilai apa yang ia warisi. Hal lain yang mungkin adalah dorongan umum manusia adalah sulit terbebas dari nafsu-nafsunya seperti nafsu mencari jalan pintas dalam menjalani kehidupan sehingga tidak mau repot mendampingi anaknya untuk berobat teratur sehingga ketika sudah terlanjur hamil-pun masih mencari jalan pintas yang menurutnya tidak merepotkan (Mereka tidak sadar bahwa mereka telah merepotkan dokter-dokter yang terlibat dalam kasus ini)!
Membina suara hati
Dari cerita di atas kita sudah melihat bahwa nampaknya suara hati dapat keliru dalam berperan atau bahkan menjadi ‘tumpul’ sehingga tidak dapat berperan dalam diri seseorang. Melalui fakta ini maka perlu sekali membina atau mendidik pembentukan suara hati sejak usia dini dengan harapan terbentuklah ‘kebiasaan’ (habit) tertentu sehingga suara hati yang benar dapat berperan dalam tindakan, khususnya tindakan moral. Pendidikan suara hati ini harus melibatkan dimensi kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan) dan konatif (perilaku atau kehendak) sehingga terbentuk dimensi kebiasaan (habit) berbuat baik.
Dimensi kognitif menuntut seseorang untuk terus belajar, memperbaharui pengetahuannya, memperluas wawasannya sehingga tidak memahami suatu permasalah dengan menggunakan pengetahuan atau wawasan yang sudah tidak sesuai jamannya. Kita harus terus menerus belajar dari hidup yang terus berkembang dan berubah, jika tidak, pengalaman moral kita menjadi statis, dogmatis dan tidak sesuai dengan kenyataan hidup yang ada, dalam bahasa anak gaul sekarang adalah menjadi orang ‘jadul” (jaman dulu). Dalam belajar pun, kita harus selalu rendah hati dengan mau bertanya kepada orang-orang yang kita anggap ahli atau berkompeten dalam bidang-bidang lain, sebab walaupun kita sudah menyandang gelar doktor dan bahkan memiliki gelar akademik profesor sekalipun bukan berarti semua ilmu pengetahuan telah kita kuasai. Sangatlah tidak bijaksana mengambil keputusan begitu saja tanpa memperoleh informasi dan penjelasan dari orang-orang yang lebih mengetahui/ ahli.
Pada dimensi afektif, pendidikan suara hati bertujuan menumbuhkan kepekaan hati terhadap kebaikan. Pengembangan dimensi ini memerlukan pengalaman mengalami atau menyaksikan sendiri bagaimana nilai-nilai dan sikap moral yang baik itu diteladani dari figur yang berperan sebagai ‘role model’. Menurut pater Sudarminta, orang merasa dididik dan dikembangkan pribadinya, bukan pertama-tama karena diberitahu ini dan itu, tetapi karena ditarik oleh pesona keteladanan pendidiknya. Keutamaan moral tidak lagi menjadi suatu yang abstrak tetapi konkret diejawantahkan dalam pribadi-pribadi yang hidup dan dapat dijumpai. Dalam kehidupan seorang calon dokter, peran pembimbing klinis, dosen-dosen dan guru besar bukan hanya pandai memberitahukan ini dan itu tentang ilmu kedokteran kepada para calon dokter melainkan mampu menularkan sikap dan citarasa moral dalam suasana hubungan antar-pribadi yang dijiwai semangat kasih sehingga figur tokoh-tokoh pendidik ini sebagai pejuang moral dapat berperan positif dalam pendidikan afektif suara hati calon dokter dengan benar.
Dalam dimensi konatif, pendidikan moral bertujuan membangun tekad moral. Pengetahuan dan pemahaman yang cukup dan tidak keliru belum tentu dapat menghasilkan tindakan yang benar dalam hal ini. Dokter mana yang tidak tahu bahwa merokok berbahaya bagi kesehatannya? Kenyataannya masih banyak dokter yang merokok! Hal ini membuktikan bahwa fungsi kognitif dan afektif seringkali tidak sejalan juga dengan konatifnya. Kelemahan kehendak (akrasia) pada orang-orang ini akan membuat mereka jatuh kedalam godaan untuk tidak melaksanakan apa yang secara kognitif mereka pahami dan yakini kebenarannya. Sangatlah penting bagi setiap orang untuk melatih kehendaknya sehingga memiliki tekad moral yang kuat sehingga terjadi kepekaan dan ketepatan penilaian suara hatinya apabila suara hatinya diselewengkan oleh nafsu dan doronga perasaannya yang tidak terkendali.
Latihan penguasaan diri dengan bermati raga, melatih ‘awareness’ dengan latihan ‘mindfulness’ adalah metode-metode seseorang dapat membentuk tekat moralnya dengan ketrampilan mengendalikan diri (self-control) terhadap dorongan-dorongan spontanitas instingtual ‘kebinatangannya’. Untuk menjadi orang yang baik, tidak cukup memiliki kecerdasan otak melainkan perlu ditunjang dengan kejernihan hati. Untuk dapat jernih hatinya maka diperlukan latihan pemurnian dari macam-macam pamrih dan nafsu-nafsu yang tak terkendali.
Dalam dimensi pembentukan kebiasaan berbuat baik, ketiga dimensi di atas dipadukan. Kepekaan dan ketepatan suara hati menilai suatu tindakan moral akan berkembang dengan baik jika kita dibiasakan melakukan yang kita pahami dan yakini sebagai baik. Menurut Aristoteles, keutamaan moral tumbuh berkat pembiasaan berbuat baik terus menerus. Jadi hal terpenting untuk mencapai kebiasaan berbuat baik adalah adanya dimensi latihan dan pembiasaan. Kadangkala pembiasaan dilatihkan dalam suatu bentuk paksaan. Hal ini boleh-boleh saja sejauh bentuk pemaksaan ini dapat dimengerti sebagai sesuatu yang bertujuan baik sehingga akhirnya dapat diterima dengan kerelaan hati. Apabila tidak ada kerelaan hati dalam menjalani latihan dan pembiasaan ini maka tidak akan efektif menghasilkan kebiasaan berbuat baik yang dapat bertahan lama.
Senin, 20 Oktober 2014
Langganan:
Postingan (Atom)