Sabtu, 08 November 2014
Bagaimana Menempuh Pendidikan untuk menjadi Psikiater?
Sama seperti anak-anak kecil lainnya, sejak SD kelas 4 saya bercita-cita menjadi dokter, selain karena melihat kehidupan dokter keluarga kami yang nampaknya tenang dan sangat berkecukupan saya juga sering mendengar bahwa seorang tante saya yang menjadi dokter gigi (drg. Wiliana Purnama, pensiunan dosen di FKG Prof Dr Moestopo) dan om saya yang sedang sekolah kedokteran di Jerman (Dr Med. Iksan Purnama, sekarang dokter spesialis mata di Esslingen, Stutgart, Jerman) hidupnya tenang dan makmur. Belakangan saat saya dalam proses bimbingan rohani, baru saya tahu bahwa dorongan itu berasal dari ketidakberanian saya mengambil risiko dalam kehidupan.
Ketika saya SMA, saya mencoba mengkaji apa bedanya psikolog dan psikiater (salah satu dokter keluarga kakek saya adalah dokter umum yang menjadi seorang psikiater yakni dr L.S Chandra, SpKJ mantan direktur Sanatorium Dharmawangsa, sekarang sudah almarhum). Kebetulan saya suka membaca karena memang dikondisikan seperti itu oleh orang tua saya maka saya mencoba membaca buku-buku tentang hal-hal tersebut. Rubrik psikologi kesukaan saya adalah rubrik Bu Leila Ch. Budiman di harian Kompas, menurut saya ulasan beliau sangat tidak tergantikan sampai saat ini.
Saya lebih memilih menjadi psikiater karena harus menjadi dokter umum dulu. Saya memilih menjadi dokter terlebih dahulu karena sesuai dengan cita-cita saya sejak kecil dengan harapan bisa membantu banyak orang, diri sendiri serta keluarga selain mapan secara ekonomi (tapi belum tentu bisa kaya raya). Ayah saya tidak setuju karena kalau menjadi dokter itu kata beliau seperti tukang becak, kalo gak 'narik' maka gak dapat uang lagipula berisiko tertular penyakit menular! Ada hal yang saya pertaruhkan dalam hal ini, yaitu, setelah menempuh pendidikan menjadi dokter umum apakah saya bisa melanjutkan studi ke spesialisasi psikiatri? Saat itu kental sekali rasialisme di kalangan kedokteran, sudah menjadi rahasia umum bahwa hanya etnis tertentu yang mudah masuk ke bagian spesialisasi tertentu (jadi sebenarnya issue ini bukan etnis Tionghoa dan pribumi tapi di kalangan etnis yang katanya pribumi-pun terjadi diskriminasi kesukuan atau praktik nepotisme). Saat itu dr L.S Chandra, SpKJ mengatakan bahwa tidak ada diskriminasi di Psikiatri jadi yang dinilai adalah kemampuan sehingga saat memulai studi di Fakultas Kedokteran saya pede aja.
Hal lain yang menjadi masalah adalah stigma buruk sebagai psikiater! Kelak saya harus mengatasi masalah ini terutama di kalangan keluarga besar. Psikiater itu diidentikkan aneh seperti pasiennya, pasiennya miskin-miskin dan tidak banyak pasiennya kecuali di RS Jiwa! Semua itu ternyata tidak benar walaupun faktanya memang seorang psikiater sulit bisa melayani banyak pasien dibandingkan spesialisasi lain dikarenakan waktu konsultasi yang lebih lama.
SEKOLAH DOKTER UMUM
Hal yang menjadi keberatan dari ayah saya lainnya mengenai menjadi dokter adalah saat itu saya tidak diterima di FK negeri sehingga harus ke FK Swasta yang sarat dengan ujian negara dan menghabiskan waktu studi yang lebih lama karena harus antri ujian apalagi kalau sampai mengulang, wah bisa tambah lama tuh antri lagi dari awal. Hal lainnya lagi adalah mengenai biaya studi yang lebih mahal di kedokteran swasta membuat saya harus curi-curi waktu bekerja mencari tambahan untuk uang saku seperti memberikan les matematika, menjadi surveyor lepas di perusahaan farmasi maupun penelitian-penelitian kesehatan perkotaan di pusat studi kesehatan perkotaan di Atma Jaya.
Hiperaktifitas saya membuat saya tidak betah menjadi kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang. Saya aktif berorganisasi di kampus, pernah saya camping 3 tempat dalam sebulan sempat ikut syuting sinetron Suri Teladan di RCTI dengan produser dan sutradara Haji Usman Effendi yang menjadi guru agama Islam buat saya. Sempat kuliah extension course filsafat manusia setiap senin malam di STF Driyarkara (saat ini saya mencoba mengikuti program matrikulasi untuk InshaAllah dapat melanjutkan studi ke program doktoral untuk memperdalam filsafat eksistensial yang diselaraskan dengan psikoterapi eksistensial khususnya logoterapi, search for meaning), dll. Semua hal ini membuat study saya molor 1 semester dan tertunda sedikit antrian menjadi dokter muda (kepaniteraan).
Kenyataan praktik sebagai dokter muda (Co-ass) membuat saya "menyesal" mempunyai cita-cita menjadi dokter, 2 tahun rotasi terus, jaga malam tidak tidur, pagi tetap standby sampai jam 2 siang, buat paper, presentasi kasus, dimarahi konsulen, diusir konsulen, ngepel lantai bekas air ketuban, diomelin perawat dan bidan. Yah memang pendidikan kedokteran itu spartan dan benar-benar membina mental serta fisik. Di her gara-gara tidur dikelas saat diskusi karena habis jaga malam gak tidur, semua itu konsulen gak mau tahu! Menjadi dokter harus kuat! harus super! Sekali lagi spartan pendidikannya. Hukuman dan kata-kata merendahkan menjadi cambuk untuk maju bukan untuk menjadi sakit hati dan mundur! Gak banyak suka-nya jadi coass yang kalau dibahasa Indonesiakan KOASS singkatan dari Kumpulan OrAng Serba Salah. Pada akhirnya memang ada makna dan arti yang bisa dipetik atas semua itu, memudahkan saya untuk beradaptasi dimanapun saya bekerja.
Setelah bersusah payah pendidikan sebagai dokter umum, penderitaan tidak berhenti di situ. Penderitaan selanjutnya adalah bagaimana mengejar setoran untuk bertahan hidup! Seminggu 2x jaga malam menjadi dokter jaga bangsal atau jaga gawat darurat demi sesuap nasi. Saat itu ibu saya sampai mengingatkan bahwa jangan terlalu banyak tugas jaga malam karena kalau sakit maka biaya yang harus dikeluarkan lebih banyak daripada yang didapatkan dari honor jaga tersebut.
Pengalaman sebagai dokter jaga di RS saya jadikan pengalaman untuk lebih mendalami kasus-kasus penyakit dan pengalaman menangani banyak kasus rawat inap, diskusi dengan konsulen (dokter spesialis) yang baik hati mau 'mengajari' kita, bukan saja ilmu tetapi berbagi pengalaman hidup adalah sisi lain yang cukup berharga bagi saya selain honor jaga yang kecil.
Penderitaan selanjutnya yang mirip-mirip Coass adalah ketika harus menjalani program spesialisasi selama minimum 4 tahun. Setiap jam 7.30 pagi sudah harus siap seminar topik-topik teori psikiatri maupun diskusi kasus. Lalu pk 9 pagi langsung menangani pasien di bangsal atau poliklinik sampai jam kerja berakhir pk 3 sore. Jaga malam lagi sudah keharusan sebagai peserta didik. Dimarahin dan diusir konsulen juga menjadi tantangan tersendiri, belum lagi harus bisa membuktikan diri tidak bodoh alias minimalisir her kalau hidup mau lebih tenang (repot kalau ngulang ujian terus sebab tugas-tugas lain masih bertumpuk). Untungnya saya termasuk yang jarang dapat her, hanya 2 kali saya diher selama pendidikan spesialis. Pertama adalah ujian statistik dan yang kedua adalah ujian penelitian (statistik lagi nih salah satunya), sampai sekarang saya tetap saja bingung dengan statistik, kecuali membaca hasil statistik karena saya sempat bekerja di perusahaan farmasi selama total 3 tahun. Satu tahun tepat sebelum pendidikan spesialis dan 2 tahun lagi setelah lulus sebagai dokter spesialis.
Tahun kedua saya menempuh pendidikan spesialis, saya mulai kesulitan dana untuk operasional sehari-hari jadi saya minta ijin untuk praktik umum sore hari dan baiknya di psikiatri saat itu kami diperbolehkan praktik umum sore hari di luar jam kerja/pendidikan. Pesannya hanya jaga prestasi belajar selama pendidikan walau praktik sore sampai malam hari. Rata-rata praktik selesai pk 20.00 dan saya sampai di rumah pk 21.00 jadi setelah itu bersiap mengerjakan tugas sampai pk.23 atau 24 hampir setiap harinya selama 4 tahun tersebut.
Satu semester pertama saat itu adalah masa pra-kualifikasi jadi yang tidak lulus ujian wawancara pasien dan teorinya akan disarankan pindah jurusan atau keluar. Tugas di tahun pertama adalah menguasai semua kasus penyakit psikotik (gangguan mental organik, skizofrenia dkk, bipolar dan depresi dengan gejala psikotik, dkk). Akhir tahun pertama adalah seleksi ke dua kalinya, jika tidak lulus maka her atau mengulang 6 bulan atau 12 bulan atau pindah jurusan alias keluar! Saat itu saya lulus langsung tanpa her dan saya kirim sms ke ibu saya mengabarkan bahwa saya lulus langsung jadi bisa langsung ke tahap 2. Saya ingat betul jawaban ibu saya adalah "selamat ya tapi jangan hanya pandai waktu sekolah, yang penting bagi mama adalah kamu bisa ramai prakteknya sebagai dokter (supaya bisa hidup mandiri)".
Tahun kedua adalah menguasai semua kasus non-psikotik dan psikoterapi serta psikodinamika pasien. Ini yang berat karena saya dianggap lebih menguasai psikiatri biologi daripada psikoterapi oleh sebagian konsulen-konsulen saya. Tapi jujur saya akui memang saat itu dan kini mainstream psikoterapinya adalah psikoterapi dinamik dan ini memang tidak begitu saya kuasai, kalau yang lainnya seperti CBT, hipnoterapi, Eksistensial dll-nya saya mudeng, kecuali yang dinamik itu saya bingung sampai sekarang dan saya pikir pasien pun banyak bingungnya dengan metode dinamik ekspresif. Kalau suportif sih semua juga ngerti tetapi mencapai 'pencerahan' sampai psikoterapi dinamik ekspresif yang sulit. Kali ini lulus langsung naik ke tahap 3 adalah sangat-sangat beruntung bagi saya.
Tahun ketiga dan keempat adalah saatnya rotasi ke sub-sub bagian/ sub spesialisasi, 6 bulan di psikiatri anak dan neurologi anak, 3 bulan di psikogeriatri dan penyakit dalam, 3 bulan di neurologi (penyakit syaraf) lalu tahun ke 4, masing-masing sebulan di adiksi, komunitas dan trans-kultural, forensik psikiatri (menentukan seseorang dapat bertanggungjawab atau tidak atas perbuatannya, perebutan hak asuh anak, dll), 3 bulan di jadi chief rawat inap, 3 bulan jadi chief rawat jalan dan 4 bulan penelitian untuk thesis.
Pendidikan spesialisasi bagi saya jauh lebih berat daripada pendidikan S2 pada umumnya tapi anehnya di Indonesia ini kami hanya disetarakan S2! Sudah mirip paket C setara lulusan SMU kalau pakai istilah disetarakan. Hal ini sama saja kekacauan kementrian pendidikan yang mensahkan bahwa gelar dokter adalah memakai 'dr', d huruf kecil dan r huruf kecil. Kenapa kalau gitu doktorandus dan doktoranda tidak disuruh pakai huruf kecil juga ya? Jadi drs dan dra.
Pendidikan spesialisasi di kedokteran tidak ada paket kelas malam atau dipercepat menjadi kurang dari 4 tahun karena harus memenuhi kuota waktu dan jumlah menangani pasien jadi walau pandai secara kognitif tidak bisa dipercepat. Hal ini tentunya berbeda dengan studi S2 yang bisa dipercepat atau mengambil kelas eksekutif.
Total tahun yang saya jalani sampai menjadi seorang dokter spesialis adalah 12 tahun! Itulah mengapa kalau paranormal dan lainnya disebut 'orang pinter' karena mereka tidak perlu sekolah selama itu tetapi boleh mengobati orang sakit sedangkan dokter yang bodoh harus menjalani pendidikan belasan tahun sampai diuji national board dan diakui sertifikasinya baru boleh mengobati orang sakit. Belum lagi kalau saya lanjutkan dengan studi lanjutan di luar negeri untuk melengkapi wawasan dan pengetahuan saya. Ehhh fenomena sekarang lagi banyak pula psikologoid-psikologoid, oid adalah istilah yang menunjukkan arti menyerupai, jadinya yang menyerupai psikolog. Siapakah mereka? Mereka adalah yang pelatihan 20 jam hipnoterapi, yang belajar otodidak psikologi lalu mengaku sebagai terapis, dll. Bagaimana mungkin bisa menterapi sebagai terapis kalau pengetahuan menegakkan diagnosisnya tidak utuh? Kasihan masyarakat yang kurang pandai membedakan hal-hal ini sehingga jatuh ke dalam praktik pembohongan publik.
Semoga sekilas tentang bagaimana menempuh pendidikan untuk menjadi psikiater ini bisa menambah informasi dan wawasan bagi khalayak dan anak-anak muda Indonesia yang siap memenuhi panggilan hidupnya di bidang kesehatan jiwa yang 'kering' ini namun sarat makna dan menurut Dr. Victor E Frankl (psikiater penemu logotherapy), barang siapa dapat memaknai pekerjaannya sebagai makna hidupnya adalah orang yang bisa berbahagia.
MANUSIA: SUBJEK YANG MENCARI MAKNA HIDUP MELALUI KARYA
Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, issue yang penting setiap kali saya berhadapan dengan pasien-pasien saya (saya adalah seorang psikiater/ dokter ahli kedokteran jiwa) adalah bagaimana mengembalikan fungsi pasien saya kepada fungsi semula, yaitu fungsinya dalam kondisi sebelum sakit. Kondisi pasien-pasien saya sebelum sakit biasanya dalam kondisi produktif baik sebagai pekerja atau sebagai pelajar. Banyak dari keluarga pasien-pasien saya maupun pasien itu sendiri mengeluhkan kondisinya yang tidak dapat kembali bekerja menjadi karyawan di sebuah perusahaan walaupun mereka dapat bekerja dengan baik sebagai penjaga warung di warung milik keluarga atau bahkan hanya membuat kardus untuk packaging produk. Banyak dari mereka yang bekerja bahkan lebih rapih membuat kardus dan lebih baik melayani pembeli di warung daripada pekerja lain tetapi mereka tetap merasa kurang produktif dan kurang menghasilkan uang dibandingkan bekerja sebagai karyawan dengan upah minimum provinsi.
Issue tentang pekerjaan ini juga saya temui dalam proses mendidik calon-calon dokter dan dokter muda yang baru lulus dan kembali dari tugas internship (kerja di bawah supervisi dokter yang leih senior) di daerah. Kebanyakan dari mereka dilarang oleh orang tuanya jika hendak mengambil bidang spesialisasi kedokteran minor seperti spesialisasi saya dengan alasan umum bahwa bidang spesialisasi kedokteran minor (contoh bidang mayor seperti penyakit dalam, bedah, kebidanan dan kandungan, Ilmu kesehatan anak) tidak dapat menghasilkan banyak uang.
Dari kedua hal yang menurut saya cukup kontras ini, yang satu dari sisi keluarga pasien dan pasiennya sedangkan yang lain dari sisi dokter dan keluarga dokter, rupanya kedua kelompok tersebut memiliki persepsi yang sama tentang bekerja atau berkarya dalam hidup ini seakan-akan hanya satu tujuan yaitu menghasilkan uang dan lebih banyak uang! Hal seperti ini pun pernah saya alami di masa lalu saya dan menjadi pertanyaan reflektif dalam diri saya bahwa apa sebenarnya tujuan dan makna hidup saya sebagai seorang manusia. Melihat kenyataan yang lazim saat ini bahwa pandangan kebanyakan masyarakat dalam ‘memaknai’ kehidupan pada umumnya dan khususnya dalam pekerjaan adalah bertujuan mendapatkan uang, maka baiklah kita meninjau apa sebenarnya hakikat manusia sebagai subjek (persona) yang memaknai hidup dalam karya-karyanya melalui pekerjaan.
Manusia sebagai Subjek (Persona)
Menurut Thomas Aquinas, ketika kita melihat manusia sebagai manusia harus menjadi tujuan dari segala aktivitas dan tidak dapat direduksi menjadi sarana.1 Dalam buku-buku Filsafat Manusia juga dikatakan dengan jelas bahwa manusia adalah subjek (pribadi jasmani-rohani).2 Sebagai subjek maka manusia memiliki keunikan masing-masing dan tidak ada satu pun manusia yang mirip 100 persen dengan manusia lainnya, ia memiliki pendirian, kebebasan, inteligensi dan lain sebagainya yang dapat menarik dirinya keluar dari dirinya sendiri dan bebas menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak boleh dijadikan ‘alat’ atau ‘sarana’ untuk mencapai sesuatu apalagi direduksi hanya untuk mencapai uang. Manusia sebagai persona memiliki keterbukaan kepada Allah, maka ia berpartisipasi dalam kehendak Allah.1,2
Kierkegaard mengatakan bahwa manusia dengan pilihan bebasnya dapat menentukan sendiri hidupnya, Hal ini juga diungkapkan oleh Gabriel Marcel yang menolak pandangan bahwa manusia bukan pribadi yang unik dan tidak memiliki individualitas. Dunia modern saat ini cenderung memfungsionalitaskan kehidupan.1
Manusia sebagai subjek adalah totalitas, menjadi suatu satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi menjadi misalnya organ-organ tubuhnya.2 Pasien saya dengan gangguan kejiwaan, saat jiwanya terganggu memang tidak bisa dipandang sebagai suatu totalitas dalam dirinya karena fungsi jiwa dan badannya tidak integratif, tidak merupakan kesatuan sehingga tidak bisa menempatkan sesuatu pada konteksnya namun ketika mereka sudah ‘sembuh’ karena mendapatkan pengobatan maka ia kembali menjadi manusia yang total yang utuh seutuh-utuhnya sehingga memiliki hak kembali untuk dapat berdiri dengan pendirian, dengan sikap di mana ia mampu mengambil dan mengubah sikap menunjuk adanya kemerdekaan dan pengertian. Totalitas manusia ini membuat ia dapat mengisi hidupnya dengan penuh dinamika dan hanya manusia itu sendiri yang dapat menentukan sendiri dinamika hidupnya sebagai miliknya sendiri karena ia adalah subjek. Hal ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya manusia itu sendiri yang menentukan tujuan akhirnya, bukan pihak di luar dirinya yang menentukan tujuan akhir dari hidupnya.
Historisitas Manusia dan Pekerjaan
Dimensi pekerjaan pada manusia tidak terlepas dari historisitas manusia. Manusia adalah makhluk yang bersejarah, hanya manusia yang dapat mencatatkan cerita tentang dirinya sendiri, tidak ada makhluk lain yang melakukan hal ini. Sejarah digerakkan oleh 2 faktor yang tidak terpisahkan yaitu bahasa dan pekerjaan.3
Konsep kesejarahan mengimplikasikan tiga hal, yang pertama adalah fakta bahwa setiap manusia melihat dirinya ditempatkan dalam ketegangan masa lampau yang telah terjadi dan kemungkinan baru untuk terjadi. Manusia adalah pemberi masa lampau dan pemberi tugas masa depan. Kedua, kesadaran bahwa ada kemungkinan berintervensi dalam proses sejarah melalui keputusan bebas dan kerja manusia. Ketiga, sejarah adalah tugas manusia dengan penekanan pada tanggung jawab manusia atas sejarah tersebut.4 Dalam penjelasan-penjelasan ini terlihat jelas peran penting ‘kerja’ bagi manusia sebagai makhluk pembuat dan yang akan membuat lagi sejarahnya dalam tanggung jawab menciptakan dunia yang semakin sempurna, semakin baik ditinggali oleh manusia-manusia selanjutnya. Menurut penulis, dalam hal ini, manusia dituntut berkontribusi positif dalam kerjanya sehingga dapat menghasilkan karya yang bertanggungjawab sesuai panggilan Allah, bukan panggilan uang. Hal ini sesuai juga dengan pandangan Leahy tentang arti modern historisitas, yang menurutnya adalah sifat khas sebuah kesadaran yang tahu akan tanggung jawab terhadap masa depan.5
Lebih jauh lagi menurut Leahy, konsep modern tentang historisitas itu adalah suatu konsep tentang masa lampau yang terintegrasikan. Masa lampau yang terintegrasi tersebut dipahami sebagai sesuatu yang pernah hadir dan bukan sudah tiada lagi melainkan menjadi proses ‘penyimpanan’ dan ‘pengaktifan’ kembali. Hal ini sangat erat kaitannya dengan makna kerja dalam hidup manusia. Marleau-Ponty mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pekerja dan kerja yang merupakan tumpuan sejarah bukanlah semata-mata pengadaan harga, melainkan secara umum merupakan kegiatan manusia dalam karyanya memancarkan suatu lingkungan yang manusiawi ke sekitarnya dan dalam mengatasi fakta alami kehidupan.5
Melalui konsep ini, manusia wajib merenungkan aspek historisitas untuk menangkap makna manusia pada umumnya serta manusia pada saat kini pada khususnya. Frankl juga mengatakan bahwa manusia dapat menemukan makna hidupnya melalui pekerjaan/ karyanya selain dari penderitaan dan pribadi yang menemukan hidupnya bermakna adalah pribadi yang ideal.6 Maka, orang beriman wajib menunjukkan bahwa imannya akan Allah bukanlah merupakan pelarian ke luar sejarah, melainkan sebaliknya, dengan keyakinan imannya ia menggarisbawahi tanggung jawabnya terhadap sejarah melalui kontribusi karya pelayanannya.5
Dimensi Pekerjaan Manusia
Kita sudah melihat bahwa pekerjaan adalah bagian penting dari sejarah, sekarang kita akan melihat dimensi pekerjaan itu sendiri yang menjadi pokok permasalahn/ issue dalam uraian pendahuluan. Sebagai makhluk yang bukan hanya rohani melainkan juga jasmani maka pada awalnya hakikat pekerjaan bagi manusia adalah segala aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan dirinya dan masyarakat dalam segala aspek. Penulis tidak memungkiri bahwa ada kebutuhan-kebutuhan dasar jasmaniah yang perlu dipenuhi dengan mendapatkan materi seperti kebutuhan makan minum, tempat tinggal, transportasi, dan lainnya.
Perkembangan teknologi telah memberi kemampuan manusia untuk membangun dunianya lebih baik. Namun hal ini telah mengubah pandangannya menjadi lebih condong pada keadaan mengagungkan pekerjaan produktif dan teknologis. Saat ini manusia lebih didominasi oleh ‘rasio instrumental’, yaitu kemampuan penalaran yang mementingkan sarana mencapai tujuan dan kurang memberi tempat pada ‘rasio substansial’, yaitu kemampuan rasional manusia untuk melihat nilai dan makna.3 Manusia terjebak pada hal-hal yang dibuatnya sendiri yang pada awalnya dibuat dengan tujuan memudahkan hidupnya tetapi sekarang malah menjadi diperbudak oleh buatannya tersebut.
Manusia saat ini kurang menyadari mana yang merupakan kebutuhannya dan mana yang merupakan keinginan egoisnya untuk mendapatkan kemajuan teknologi yang tujuan awalnya adalah memudahkan kehidupannya. Salah satu contoh yang sederhana saat ini adalah perkembangan gadget yang pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan akan komunikasi tetapi sampai saat ini perkembangannya telah jauh melampaui kebutuhan untuk komunikasi melainkan memasukkan semua keinginan manusia untuk ‘dimanja’ dalam bentuk entertainment dan lainnya ke dalam satu gadget dengan harga mahal yang beberapa bulan kemudian harganya akan turun drastis. Masih banyak hal-hal lain seperti ini jika dikejar oleh manusia maka manusia akan kehilangan ‘rasio substansial’-nya dan mengejar semakin banyak uang untuk memenuhi keinginannya, bukan kebutuhannya.
Ketika seorang manusia mengejar keinginannya tersebut untuk mendapatkan lebih banyak uang sebagai tujuan akhir maka seorang manusia seakan-akan bekerja untuk bertahan hidup dan menjadikan hidupnya hanya untuk bekerja. Idealnya, pekerjaan sebagai dimensi esensial eksistensi manusia di dunia dipandang oleh manusia sebagai sesuatu yang bisa membuatnya ‘dianggap’ sebagai manusia. Orang bekerja keras sebenarnya bertujuan agar ia memiliki waktu luang untuk ‘berkontemplasi’ agar dapat menikmati kebersamaan dengan yang lain seperti dengan keluarga dan teman-temannya, untuk dapat belajar, untuk dapat berdoa dan lain hal yang membuat kualitas hidupnya bertambah sebagai manusia. Manusia tidak boleh menjadikan pekerjaan segala-galanya bagi dirinya. Manusia ada bukan untuk bekerja, tetapi manusia bekerja dan harus bekerja agar eksistensinya penuh keluhuran dan bermartabat. Pekerjaan tidak boleh ditiadakan tetapi juga tidak boleh menjadi ekspresi total manusia, karena ada dimensi hakiki lainnya yang harus diekspresikan juga.3 Apalagi kalau hanya dipandang sebagai sarana mendapatkan uang!
Dalam hal nilai dan makna dalam bekerja ini maka setiap manusia harus menemukan nilai dan makna pekerjaannya dengan mengingat hakikatnya sebagai subjek, posisinya sebagai makhluk historis dan mengutamakan panggilan Allah atas karya apa yang harus dilakukannya sebagai bagian dari perpanjangan tangan Allah di dunia ini. Tidak ada tugas kecil pun yang tidak bermakna bahkan pekerjaan yang kita anggap paling rendah pun (misalnya petugas kebersihan, buruh kasar,dll) jika tidak ada yang melakukan maka seluruh sistem kehidupan kita akan mengalami ketidakseimbangan.
Menurut penulis, pekerjaan bagi manusia juga bisa dianggap sebuah pemainan dengan tanggung jawab dalam dinamika kemanusiaannya. Permainan adalah gejala umum dalam kehidupan manusia. Hal ini nampak dalam olimpiade sejak zaman Yunani sampai saat kini. Sepanjang manusia itu bebas dalam permainan maka manusia dapat menemukan dirinya dengan cara yang sewajarnya. Dalam permainan manusia mengalami dirinya secara utuh , total, terintegrasi.7 Sebagian dari pekerjaan kita adalah ‘permainan’, seperti anak-anak bermain peran di sebuah taman bermain kanak-kanak yang dikenal dengan nama Kidzania. Di Kidzania, seorang anak dapat berperan dalam permainan pekerjaan saat dewasa nanti. Sudah tentu bahwa ‘permainan’ yang dimaksud dalam pekerjaan adalah sebuah pekerjaan yang dapat membuat seorang manusia menemukan dirinya secara utuh sehingga keutuhan dan totalitasnya juga dapat membuatnya bekerja dalam totalitas itu atau istilah yang biasa digunakan adalah bekerja ‘all out’ tanpa dirundung situasi yang membebani.
Simpulan
Sebagai makhluk jasmani yang masih perlu pemenuhan kebutuhan materiil untuk keberadaan jasmaniahnya, maka manusia memang memerlukan uang sebagai salah satu alat atau sarana tetapi uang bukan tujuan bekerja. Di lain pihak, jangan lupa bahwa manusia juga makhluk rohani yang keberadaannya sebagai subjek tidak terbatasi oleh kondisi jasmaniahnya saja. Manusia sebagai subjek adalah pengada dan untuk itu memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam kontribusinya akan masa depan kehidupannya. Manusia menciptakan masa lalunya dan akan menciptakan juga masa kini dan masa depannya, oleh sebab itu manusia perlu berkarya. Manusia yang berinteligensi, bebas, berpendirian dan bertanggung jawab seharusnya dapat menjaga keseimbangan pandangan-pandangan filosofis tentang pekerjaan dan pemenuhan kehidupannya, bukan semata-mata ditentukan pandangan di luar dirinya apalagi kalau pilihan pekerjaannya hanya dibatasi oleh uang. Manusia seharusnya dapat menentukan pekerjaannya yang menjadi tujuan akhir penuh nilai dan makna dalam hidupnya sehingga dapat menemukan secercah kebahagiaan hidup yang penuh makna.
Dalam memilih pekerjaannya manusia harus selalu ingat bahwa ia memiliki tanggung jawab historis yang secara keimanan ia perlu mempertimbangkan ‘panggilan’ Allah atas tugas apa yang harus dikerjakannya dalam perannya ambil bagian di kehidupan ini.
Manusia juga harus dapat memilih pekerjaannya seperti sedang bermain sehingga ia selalu berada dalam totalitasnya sebagai subjek dan bebas merdeka dalam berkarya, menciptakan hal-hal dari yang sederhana sampai yang mungkin spektakular untuk kehidupan yang lebih baik di dunia ini.
Hal terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kenyataan di dunia ini khususnya di Indonesia, penulis masih melihat adanya ketidakadilan dalam hal penghargaan atas nilai dan pemaknaan hidup pekerjaan-pekerjaan tertentu di Indonesia sehingga seakan-akan membuat manusia Indonesia menjadi tidak bebas untuk menentukan pekerjaan yang sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia seperti yang telah diuraikan di atas. Kesenjangan penghasilan yang paling bawah dan yang paling atas begitu jauh dan tidak ada standar yang mendekati ‘adil’ yang diatur oleh penyelenggara negara yang seharusnya dapat menjamin ‘kemerdekaan’ warga negaranya. Walaupun demikian kita tidak dapat menganggap keadaan ini sebagai suatu kondisi yang deterministik melainkan masih ada kesempatan yang bebas untuk diubah. Sesuai pengalaman subjektif penulis hingga saat ini ternyata kebebasan kita memilih mau dihargai seperti apa nilai dan pemaknaan atas pekerjaan kita sangat ditentukan oleh pilihan bebas diri kita sendiri dan bukan oleh standar-standar ketidakadilan yang diciptakan/ ditentukan masyarakat atau negara.
Daftar Pustaka
1. Sastrapratedja, M. Manusia Sebagai Pribadi/Persona dalam Filsafat Manusia I. Pusat kajian Filsafat dan Pancasila. Jakarta. 2010. H. 171-176
2. Driyarkara ,N. Dinamika dan Persona dalam Filsafat Manusia. Kanisius. Yogyakarta. 1969. H. 55-57
3. Sastrapratedja, M. Dimensi Antropologis Pekerjaan dalam Filsafat Manusia I. Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila. Jakarta. 2010. H. 159
4. Sastrapratedja, M. Kesejarahan dalam Filsafat Manusia I. Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila. Jakarta. 2010. H. 141-143
5. Leahy, L. Historisitas. Siapakah Manusia? Kanisius. Yogyakarta. 2001. H. 225-230
6. Bastaman, H.D. Logoterapi Sebagai Filsafat Manusia dan Teori Kepribadian dalam Logoterapi.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007. H. 85-87
7. Driyarkara ,N. Permainan Sebagai Aktivisasi Dinamika dalam Filsafat Manusia. Kanisius. Yogyakarta. 1969. H. 79-83
Dalam kehidupan sehari-hari, issue yang penting setiap kali saya berhadapan dengan pasien-pasien saya (saya adalah seorang psikiater/ dokter ahli kedokteran jiwa) adalah bagaimana mengembalikan fungsi pasien saya kepada fungsi semula, yaitu fungsinya dalam kondisi sebelum sakit. Kondisi pasien-pasien saya sebelum sakit biasanya dalam kondisi produktif baik sebagai pekerja atau sebagai pelajar. Banyak dari keluarga pasien-pasien saya maupun pasien itu sendiri mengeluhkan kondisinya yang tidak dapat kembali bekerja menjadi karyawan di sebuah perusahaan walaupun mereka dapat bekerja dengan baik sebagai penjaga warung di warung milik keluarga atau bahkan hanya membuat kardus untuk packaging produk. Banyak dari mereka yang bekerja bahkan lebih rapih membuat kardus dan lebih baik melayani pembeli di warung daripada pekerja lain tetapi mereka tetap merasa kurang produktif dan kurang menghasilkan uang dibandingkan bekerja sebagai karyawan dengan upah minimum provinsi.
Issue tentang pekerjaan ini juga saya temui dalam proses mendidik calon-calon dokter dan dokter muda yang baru lulus dan kembali dari tugas internship (kerja di bawah supervisi dokter yang leih senior) di daerah. Kebanyakan dari mereka dilarang oleh orang tuanya jika hendak mengambil bidang spesialisasi kedokteran minor seperti spesialisasi saya dengan alasan umum bahwa bidang spesialisasi kedokteran minor (contoh bidang mayor seperti penyakit dalam, bedah, kebidanan dan kandungan, Ilmu kesehatan anak) tidak dapat menghasilkan banyak uang.
Dari kedua hal yang menurut saya cukup kontras ini, yang satu dari sisi keluarga pasien dan pasiennya sedangkan yang lain dari sisi dokter dan keluarga dokter, rupanya kedua kelompok tersebut memiliki persepsi yang sama tentang bekerja atau berkarya dalam hidup ini seakan-akan hanya satu tujuan yaitu menghasilkan uang dan lebih banyak uang! Hal seperti ini pun pernah saya alami di masa lalu saya dan menjadi pertanyaan reflektif dalam diri saya bahwa apa sebenarnya tujuan dan makna hidup saya sebagai seorang manusia. Melihat kenyataan yang lazim saat ini bahwa pandangan kebanyakan masyarakat dalam ‘memaknai’ kehidupan pada umumnya dan khususnya dalam pekerjaan adalah bertujuan mendapatkan uang, maka baiklah kita meninjau apa sebenarnya hakikat manusia sebagai subjek (persona) yang memaknai hidup dalam karya-karyanya melalui pekerjaan.
Manusia sebagai Subjek (Persona)
Menurut Thomas Aquinas, ketika kita melihat manusia sebagai manusia harus menjadi tujuan dari segala aktivitas dan tidak dapat direduksi menjadi sarana.1 Dalam buku-buku Filsafat Manusia juga dikatakan dengan jelas bahwa manusia adalah subjek (pribadi jasmani-rohani).2 Sebagai subjek maka manusia memiliki keunikan masing-masing dan tidak ada satu pun manusia yang mirip 100 persen dengan manusia lainnya, ia memiliki pendirian, kebebasan, inteligensi dan lain sebagainya yang dapat menarik dirinya keluar dari dirinya sendiri dan bebas menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak boleh dijadikan ‘alat’ atau ‘sarana’ untuk mencapai sesuatu apalagi direduksi hanya untuk mencapai uang. Manusia sebagai persona memiliki keterbukaan kepada Allah, maka ia berpartisipasi dalam kehendak Allah.1,2
Kierkegaard mengatakan bahwa manusia dengan pilihan bebasnya dapat menentukan sendiri hidupnya, Hal ini juga diungkapkan oleh Gabriel Marcel yang menolak pandangan bahwa manusia bukan pribadi yang unik dan tidak memiliki individualitas. Dunia modern saat ini cenderung memfungsionalitaskan kehidupan.1
Manusia sebagai subjek adalah totalitas, menjadi suatu satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi menjadi misalnya organ-organ tubuhnya.2 Pasien saya dengan gangguan kejiwaan, saat jiwanya terganggu memang tidak bisa dipandang sebagai suatu totalitas dalam dirinya karena fungsi jiwa dan badannya tidak integratif, tidak merupakan kesatuan sehingga tidak bisa menempatkan sesuatu pada konteksnya namun ketika mereka sudah ‘sembuh’ karena mendapatkan pengobatan maka ia kembali menjadi manusia yang total yang utuh seutuh-utuhnya sehingga memiliki hak kembali untuk dapat berdiri dengan pendirian, dengan sikap di mana ia mampu mengambil dan mengubah sikap menunjuk adanya kemerdekaan dan pengertian. Totalitas manusia ini membuat ia dapat mengisi hidupnya dengan penuh dinamika dan hanya manusia itu sendiri yang dapat menentukan sendiri dinamika hidupnya sebagai miliknya sendiri karena ia adalah subjek. Hal ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya manusia itu sendiri yang menentukan tujuan akhirnya, bukan pihak di luar dirinya yang menentukan tujuan akhir dari hidupnya.
Historisitas Manusia dan Pekerjaan
Dimensi pekerjaan pada manusia tidak terlepas dari historisitas manusia. Manusia adalah makhluk yang bersejarah, hanya manusia yang dapat mencatatkan cerita tentang dirinya sendiri, tidak ada makhluk lain yang melakukan hal ini. Sejarah digerakkan oleh 2 faktor yang tidak terpisahkan yaitu bahasa dan pekerjaan.3
Konsep kesejarahan mengimplikasikan tiga hal, yang pertama adalah fakta bahwa setiap manusia melihat dirinya ditempatkan dalam ketegangan masa lampau yang telah terjadi dan kemungkinan baru untuk terjadi. Manusia adalah pemberi masa lampau dan pemberi tugas masa depan. Kedua, kesadaran bahwa ada kemungkinan berintervensi dalam proses sejarah melalui keputusan bebas dan kerja manusia. Ketiga, sejarah adalah tugas manusia dengan penekanan pada tanggung jawab manusia atas sejarah tersebut.4 Dalam penjelasan-penjelasan ini terlihat jelas peran penting ‘kerja’ bagi manusia sebagai makhluk pembuat dan yang akan membuat lagi sejarahnya dalam tanggung jawab menciptakan dunia yang semakin sempurna, semakin baik ditinggali oleh manusia-manusia selanjutnya. Menurut penulis, dalam hal ini, manusia dituntut berkontribusi positif dalam kerjanya sehingga dapat menghasilkan karya yang bertanggungjawab sesuai panggilan Allah, bukan panggilan uang. Hal ini sesuai juga dengan pandangan Leahy tentang arti modern historisitas, yang menurutnya adalah sifat khas sebuah kesadaran yang tahu akan tanggung jawab terhadap masa depan.5
Lebih jauh lagi menurut Leahy, konsep modern tentang historisitas itu adalah suatu konsep tentang masa lampau yang terintegrasikan. Masa lampau yang terintegrasi tersebut dipahami sebagai sesuatu yang pernah hadir dan bukan sudah tiada lagi melainkan menjadi proses ‘penyimpanan’ dan ‘pengaktifan’ kembali. Hal ini sangat erat kaitannya dengan makna kerja dalam hidup manusia. Marleau-Ponty mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pekerja dan kerja yang merupakan tumpuan sejarah bukanlah semata-mata pengadaan harga, melainkan secara umum merupakan kegiatan manusia dalam karyanya memancarkan suatu lingkungan yang manusiawi ke sekitarnya dan dalam mengatasi fakta alami kehidupan.5
Melalui konsep ini, manusia wajib merenungkan aspek historisitas untuk menangkap makna manusia pada umumnya serta manusia pada saat kini pada khususnya. Frankl juga mengatakan bahwa manusia dapat menemukan makna hidupnya melalui pekerjaan/ karyanya selain dari penderitaan dan pribadi yang menemukan hidupnya bermakna adalah pribadi yang ideal.6 Maka, orang beriman wajib menunjukkan bahwa imannya akan Allah bukanlah merupakan pelarian ke luar sejarah, melainkan sebaliknya, dengan keyakinan imannya ia menggarisbawahi tanggung jawabnya terhadap sejarah melalui kontribusi karya pelayanannya.5
Dimensi Pekerjaan Manusia
Kita sudah melihat bahwa pekerjaan adalah bagian penting dari sejarah, sekarang kita akan melihat dimensi pekerjaan itu sendiri yang menjadi pokok permasalahn/ issue dalam uraian pendahuluan. Sebagai makhluk yang bukan hanya rohani melainkan juga jasmani maka pada awalnya hakikat pekerjaan bagi manusia adalah segala aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan dirinya dan masyarakat dalam segala aspek. Penulis tidak memungkiri bahwa ada kebutuhan-kebutuhan dasar jasmaniah yang perlu dipenuhi dengan mendapatkan materi seperti kebutuhan makan minum, tempat tinggal, transportasi, dan lainnya.
Perkembangan teknologi telah memberi kemampuan manusia untuk membangun dunianya lebih baik. Namun hal ini telah mengubah pandangannya menjadi lebih condong pada keadaan mengagungkan pekerjaan produktif dan teknologis. Saat ini manusia lebih didominasi oleh ‘rasio instrumental’, yaitu kemampuan penalaran yang mementingkan sarana mencapai tujuan dan kurang memberi tempat pada ‘rasio substansial’, yaitu kemampuan rasional manusia untuk melihat nilai dan makna.3 Manusia terjebak pada hal-hal yang dibuatnya sendiri yang pada awalnya dibuat dengan tujuan memudahkan hidupnya tetapi sekarang malah menjadi diperbudak oleh buatannya tersebut.
Manusia saat ini kurang menyadari mana yang merupakan kebutuhannya dan mana yang merupakan keinginan egoisnya untuk mendapatkan kemajuan teknologi yang tujuan awalnya adalah memudahkan kehidupannya. Salah satu contoh yang sederhana saat ini adalah perkembangan gadget yang pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan akan komunikasi tetapi sampai saat ini perkembangannya telah jauh melampaui kebutuhan untuk komunikasi melainkan memasukkan semua keinginan manusia untuk ‘dimanja’ dalam bentuk entertainment dan lainnya ke dalam satu gadget dengan harga mahal yang beberapa bulan kemudian harganya akan turun drastis. Masih banyak hal-hal lain seperti ini jika dikejar oleh manusia maka manusia akan kehilangan ‘rasio substansial’-nya dan mengejar semakin banyak uang untuk memenuhi keinginannya, bukan kebutuhannya.
Ketika seorang manusia mengejar keinginannya tersebut untuk mendapatkan lebih banyak uang sebagai tujuan akhir maka seorang manusia seakan-akan bekerja untuk bertahan hidup dan menjadikan hidupnya hanya untuk bekerja. Idealnya, pekerjaan sebagai dimensi esensial eksistensi manusia di dunia dipandang oleh manusia sebagai sesuatu yang bisa membuatnya ‘dianggap’ sebagai manusia. Orang bekerja keras sebenarnya bertujuan agar ia memiliki waktu luang untuk ‘berkontemplasi’ agar dapat menikmati kebersamaan dengan yang lain seperti dengan keluarga dan teman-temannya, untuk dapat belajar, untuk dapat berdoa dan lain hal yang membuat kualitas hidupnya bertambah sebagai manusia. Manusia tidak boleh menjadikan pekerjaan segala-galanya bagi dirinya. Manusia ada bukan untuk bekerja, tetapi manusia bekerja dan harus bekerja agar eksistensinya penuh keluhuran dan bermartabat. Pekerjaan tidak boleh ditiadakan tetapi juga tidak boleh menjadi ekspresi total manusia, karena ada dimensi hakiki lainnya yang harus diekspresikan juga.3 Apalagi kalau hanya dipandang sebagai sarana mendapatkan uang!
Dalam hal nilai dan makna dalam bekerja ini maka setiap manusia harus menemukan nilai dan makna pekerjaannya dengan mengingat hakikatnya sebagai subjek, posisinya sebagai makhluk historis dan mengutamakan panggilan Allah atas karya apa yang harus dilakukannya sebagai bagian dari perpanjangan tangan Allah di dunia ini. Tidak ada tugas kecil pun yang tidak bermakna bahkan pekerjaan yang kita anggap paling rendah pun (misalnya petugas kebersihan, buruh kasar,dll) jika tidak ada yang melakukan maka seluruh sistem kehidupan kita akan mengalami ketidakseimbangan.
Menurut penulis, pekerjaan bagi manusia juga bisa dianggap sebuah pemainan dengan tanggung jawab dalam dinamika kemanusiaannya. Permainan adalah gejala umum dalam kehidupan manusia. Hal ini nampak dalam olimpiade sejak zaman Yunani sampai saat kini. Sepanjang manusia itu bebas dalam permainan maka manusia dapat menemukan dirinya dengan cara yang sewajarnya. Dalam permainan manusia mengalami dirinya secara utuh , total, terintegrasi.7 Sebagian dari pekerjaan kita adalah ‘permainan’, seperti anak-anak bermain peran di sebuah taman bermain kanak-kanak yang dikenal dengan nama Kidzania. Di Kidzania, seorang anak dapat berperan dalam permainan pekerjaan saat dewasa nanti. Sudah tentu bahwa ‘permainan’ yang dimaksud dalam pekerjaan adalah sebuah pekerjaan yang dapat membuat seorang manusia menemukan dirinya secara utuh sehingga keutuhan dan totalitasnya juga dapat membuatnya bekerja dalam totalitas itu atau istilah yang biasa digunakan adalah bekerja ‘all out’ tanpa dirundung situasi yang membebani.
Simpulan
Sebagai makhluk jasmani yang masih perlu pemenuhan kebutuhan materiil untuk keberadaan jasmaniahnya, maka manusia memang memerlukan uang sebagai salah satu alat atau sarana tetapi uang bukan tujuan bekerja. Di lain pihak, jangan lupa bahwa manusia juga makhluk rohani yang keberadaannya sebagai subjek tidak terbatasi oleh kondisi jasmaniahnya saja. Manusia sebagai subjek adalah pengada dan untuk itu memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam kontribusinya akan masa depan kehidupannya. Manusia menciptakan masa lalunya dan akan menciptakan juga masa kini dan masa depannya, oleh sebab itu manusia perlu berkarya. Manusia yang berinteligensi, bebas, berpendirian dan bertanggung jawab seharusnya dapat menjaga keseimbangan pandangan-pandangan filosofis tentang pekerjaan dan pemenuhan kehidupannya, bukan semata-mata ditentukan pandangan di luar dirinya apalagi kalau pilihan pekerjaannya hanya dibatasi oleh uang. Manusia seharusnya dapat menentukan pekerjaannya yang menjadi tujuan akhir penuh nilai dan makna dalam hidupnya sehingga dapat menemukan secercah kebahagiaan hidup yang penuh makna.
Dalam memilih pekerjaannya manusia harus selalu ingat bahwa ia memiliki tanggung jawab historis yang secara keimanan ia perlu mempertimbangkan ‘panggilan’ Allah atas tugas apa yang harus dikerjakannya dalam perannya ambil bagian di kehidupan ini.
Manusia juga harus dapat memilih pekerjaannya seperti sedang bermain sehingga ia selalu berada dalam totalitasnya sebagai subjek dan bebas merdeka dalam berkarya, menciptakan hal-hal dari yang sederhana sampai yang mungkin spektakular untuk kehidupan yang lebih baik di dunia ini.
Hal terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kenyataan di dunia ini khususnya di Indonesia, penulis masih melihat adanya ketidakadilan dalam hal penghargaan atas nilai dan pemaknaan hidup pekerjaan-pekerjaan tertentu di Indonesia sehingga seakan-akan membuat manusia Indonesia menjadi tidak bebas untuk menentukan pekerjaan yang sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia seperti yang telah diuraikan di atas. Kesenjangan penghasilan yang paling bawah dan yang paling atas begitu jauh dan tidak ada standar yang mendekati ‘adil’ yang diatur oleh penyelenggara negara yang seharusnya dapat menjamin ‘kemerdekaan’ warga negaranya. Walaupun demikian kita tidak dapat menganggap keadaan ini sebagai suatu kondisi yang deterministik melainkan masih ada kesempatan yang bebas untuk diubah. Sesuai pengalaman subjektif penulis hingga saat ini ternyata kebebasan kita memilih mau dihargai seperti apa nilai dan pemaknaan atas pekerjaan kita sangat ditentukan oleh pilihan bebas diri kita sendiri dan bukan oleh standar-standar ketidakadilan yang diciptakan/ ditentukan masyarakat atau negara.
Daftar Pustaka
1. Sastrapratedja, M. Manusia Sebagai Pribadi/Persona dalam Filsafat Manusia I. Pusat kajian Filsafat dan Pancasila. Jakarta. 2010. H. 171-176
2. Driyarkara ,N. Dinamika dan Persona dalam Filsafat Manusia. Kanisius. Yogyakarta. 1969. H. 55-57
3. Sastrapratedja, M. Dimensi Antropologis Pekerjaan dalam Filsafat Manusia I. Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila. Jakarta. 2010. H. 159
4. Sastrapratedja, M. Kesejarahan dalam Filsafat Manusia I. Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila. Jakarta. 2010. H. 141-143
5. Leahy, L. Historisitas. Siapakah Manusia? Kanisius. Yogyakarta. 2001. H. 225-230
6. Bastaman, H.D. Logoterapi Sebagai Filsafat Manusia dan Teori Kepribadian dalam Logoterapi.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007. H. 85-87
7. Driyarkara ,N. Permainan Sebagai Aktivisasi Dinamika dalam Filsafat Manusia. Kanisius. Yogyakarta. 1969. H. 79-83
Langganan:
Postingan (Atom)