Jumat, 06 Mei 2016

Budaya Masyarakat dan Uang

Dalam sebuah acara malam pemilihan mahasiswa berprestasi tahun 2016 di salah satu universitas swasta di Jakarta, sebagai salah satu juri undangan, saya memperhatikan betapa gegap gempitanya para mahasiwa, dosen, karyawan universitas dan para orang tua mahasiswa saling berinteaksi di acara tersebut. Menurut pendapat saya, salah satu hal yang mendasari kemeriahan acara tersebut adalah bahwa acara tersebut merupakan sebuah simbolisasi “kesuksesan akademik” yang dinyatakan dalam bentuk penghargaan berupa penyematan sebuah selendang bertuliskan ‘mahasiswa berprestasi 2016’ dan hadiah uang sebesar lima juta rupiah. Melalui acara tersebut, secara spontan dalam benak saya muncul sebuah pertanyaan, apa yang menjadi simbol kesuksesan masa kini? Gaya hidup adalah mungkin jawabannya. Gaya hidup dengan simbol-simbol yang dimaknai sebagai simbol kesuksesan di sini termasuk juga acara-acara malam penganugerahan seperti ini. Mulai yang dinilai kontroversial oleh segelintir golongan di Indonesia seperti Miss Universe karena memakai bikini, Putri Indonesia, Putri Kampus, Abang dan None Jakarta, dan lain sebagainya adalah simbol-simbol kesuksesan yang telah menjadi bagian dari gaya hidup.

Karena merupakan bagian dari gaya hidup maka jelas acara –acara seperti ini pun tidak lepas dari dukungan para sponsor yang menawarkan banyak produk-produk yang mensimbolisasikan penggunanya seakan-akan dapat tampil seperti tokoh idola. Kehidupan kota besar seperti Jakarta memacu masyarakatnya untuk mengejar simbol-simbol (termasuk mode fashion) gaya hidup materialistik dengan mengkonsumsi merek-merek produk terkenal yang sering diiklankan (termasuk yang sering mensponsori acara-acara di atas) dan menjadi ikon gaya hidup metropolis. Dorongan untuk mengejar gaya hidup ini tanpa disadari membentuk sikap mental masyarakat dalam menjalani kehidupannya saat ini.

Rutinitas pekerjaan yang menyibukkan diri kita dan perubahan dalam masyarakat yang cepat seringkali membuat kita menjadi tidak sempat merefleksikan pola-pola kehidupan kita saat ini yang membentuk interaksi antarindividu semakin anonim. Kehidupan yang dimediasi oleh sains dan teknologi, komoditas dan fenomena-fenomena sosial lainnya muncul sebagai sebuah keterasingan bagi kita. Sosiolog dan filsuf yang tertarik dalam pembahasan tentang budaya kehidupan dan gaya hidup modern seperti ini adalah Georg Simmel.
Karya Georg Simmel lebih menekankan tingkat kenyataan sosial yang bersifat interpersonal yaitu antara realisme dan nominalisme. Simmel menjembatani posisi Emile Durkheim dan Max Weber. Simmel melihat masyarakat lebih daripada sekedar suatu kumpulan individu serta pola perilakunya, namun masyarakat juga tidak terlepas dari individu yang membentuknya. Sebaliknya masyarakat membentuk pola-pola interaksi timbal balik antarindividu.

Riwayat Hidup Singkat Georg Simmel
Georg Simmel lahir tanggal 1 Maret tahun 1858 di pusat kota Berlin dari keluarga keturunan Yahudi. Ayahnya yang seorang pengusaha kaya meninggal ketika ia masih kecil dan ayahnya berpindah dari agama Yahudi ke Katolik. Ibunya adalah seorang Kristen Protestan Lutheran dan semua anaknya dibaptis sebagai Protestan. Pemikiran Simmel menangkap tegangan berbagai aliran dan kecenderungan moral serta intelektual zamannya. Ia merasakan tegangan sebagai orang kota besar karena tinggal di Berlin yang saat itu berkembang pesat sebagai kota metropolitan. Ia berada dipersilangan sosiologi dan filsafat. Pemikirannya patut disejajarkan dengan Max Weber dan Emile Durkheim. Ia adalah seorang pemikir modern yang fokus pada gaya hidup metropolitan.
Sebagai seorang Yahudi yang masuk gereja protestan maka ia ditolak oleh kaumnya dan juga dicurigai di kalangan Protestan. Selain itu walaupun ia berasal dari keluarga kaya yang dapat mempertahankan hidup borjuisnya, ia sendiri tidak berhasil mendapatkan uang dari kariernya. Ia mendapatkan gelar doktoralnya dari Universitas Berlin tahun 1881 dan mulai mengajar di sana tahun 1885. Kuliah-kuliahnya begitu berhasil karena ia seorang guru yang cemerlang, peka dan sangat mendalam pengetahuannya mengenai banyak macam hal. Walaupun demikian, pada saat itu sedang marak gerakan antisemintik di Jerman dan karena ia orang Yahudi maka ia didiskriminasi dan hanya diangkat menjadi dosen-privat, yaitu dosen yang tidak dibayar yang gajinya berdasarkan pembayaran mahasiswanya. Kemudian ia menerima gelar kehormatan sebagai “Profesor Luar Biasa” tanpa kompensasi uang. Ia menerima posisi sebagai profesor penuh pada usia 56 tahun dari Universitas Strasbourg namun malang nasibnya karena karier akademiknya terhenti akibat pecah perang.
Posisi marginal yang dialaminya ini bagaimanapun juga mempengaruhi pandangannya. Ia sendiri memperbesar marginalitasnya dengan menolak menyesuaikan diri dengan suatu spesialisasi yang sudah diakui dalam dunia akademis. Minatnya yang luas tersebar mulai dari epistemologi Kant sampai ke psikologi, filsafat dan sosiologi mengenai makanan serta mode fashion. Dalam proses mengikuti dorongan hatinya ini, ia mengembangkan sejumlah sketsa yang analitis dan brilian, namun hasil keseluruhannya bersifat fragmen-fragmen saja. (Johnson, 1981)
Karya-karya Simmel yang terkenal, yang menangkap detail perasaan-perasaan hidup orang kota besar diantaranya: Philosophie des Geldes (Filsafat Uang, 1900), The Metropolis and Mental Life (1903), Philosophy of Fashion (1905).

Masyarakat Sebagai Interaksi Timbal-balik
Sebelum membahas lebih jauh tentang pandangan-pandangan Simmel yang terkenal maka kita perlu memahami pendekatan konsep munculnya masyarakat menurut Simmel. Pendekatan Simmel meliputi pengidentifikasian dan penganalisaan pola-pola sosialisasi yang berulang. Kata “sosialisasi” di sini adalah terjemahan kata Jerman Vergesellschaftung, yang secara harafiah berarti “proses di mana masyarakat itu terjadi”. Sosialisasi meliputi interaksi timbal-balik. Melalui proses ini, individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dengan demikian muncullah masyarakat. (Johnson, 1981)

Proses interaksi timbal-balik ini mengusahakan keseimbangan antara pandangan nominalis dan pandangan realis. Menurut Simmel, sebagai suatu disiplin ilmiah, sosiologi harus memiliki identifikasi dan analisa mengenai berbagai pola yang berulang dalam interaksi timbal-balik ini sehingga muncullah masyarakat. Sebagai contoh, sekumpulan individu yang sedang menunggu di stasiun kereta dan saling berdiam diri satu sama lain bukanlah sebuah masyarakat. Ketika misalnya ada pengumuman bahwa kereta terlambat datang karena ada kecelakaan seperti ada gerbong yang tergelincir dari rel-nya maka antar individu tersebut mulai terjadi interaksi dengan saling terlibat dalam pembicaraan, maka di sana muncullah masyarakat.(Johnson, 1981)
Proses sosialisasi dalam masyarakat ini juga bermacam-macam, mulai dari pertemuan sepintas lalu antara orang-orang yang tidak saling mengenal di tempat umum sampai ke ikatan persahabatan yang lama dan intim atau hubungan keluarga. Tanpa memandang tingkat variasinya, proses sosialisasi ini mengubah suatu kumpulan individu menjadi suatu masyarakat. Kesimpulannya, masyarakat ada apabila sejumlah individu terjalin melalui interaksi dan saling mempengaruhi. (Johnson, 1981)

Uang dan Hubungan Sosial
Menurut Georg Simmel, keterasingan dalam kehidupan modern saat ini disebabkan oleh fenomena uang dan fashion. Apa yang mendasari semua ini? Tentunya adalah manusia. Uang dan fashion dihasilkan oleh manusia. Pada hakikatnya, manusia menurut Simmel adalah makhluk yang dinamis yang terus berubah sesuai dengan kondisi ruang dan waktu atau boleh disebut sesuai dengan zamannya. Jadi manusia itu tidak memiliki hakikat yang permanen seperti pandangan para filsuf kuno. Manusia yang muncul di zaman modern ini disebut manusia kota atau manusia urban. Manusia urban adalah manusia yang diaktualkan “kodrat”-nya sesuai dengan tegangan hidup dalam kota. (Hardiman, 2016)
Untuk lebih jelas melihat fenomena kota besar ini maka baiknya kita menelaah tulisannya The Metropolis and Mental Life bahwa di kota besar kita akan secara ajeg dihujani informasi sehingga ada “intensifikasi stimulasi sel syaraf”. Semua hal adalah baru, cepat, dan tidak kekal, warga kota dikelilingi oleh orang-orang asing dan iklan-iklan, tanda jalan dan pesan-pesan lainnya. Semua aspek kehidupan urban yang bervariasi ini mengancam panca indera kita terhadap diri sendiri dan kemampuan kita menjadi subjek yang memiliki otonomi di lingkungan kota metropolitan. Pada akhirnya, untuk menyesuaikan diri dengan situasi ini, kita harus menutup beberapa respon emosi kita dan mengembangkan sikap yang disebut oleh Simmel adalah sikap blasé. Sikap blasé ini adalah sikap tidak peduli perbedaan individual, anonim dan berjarak. (Smith dan Riley, 2009)
Fungsi, rasionalitas dan impersonalitas dalam hubungan sosial modern disimbolkan dan dipermudah dengan uang. Simmel mengembangkan pemikirannya ini dalam esainya yang berjudul The Philosophy of Money. Sebagai suatu ukuran nilai yang objektif, uang memungkinkan produk-produk atau jasa-jasa yang benar-benar tidak serupa itu dibandingkan satu sama lain untuk menentukan nilai relatifnya dalam transaksi pertukaran. (Johnson, 1981)

Dengan adanya uang maka bentuk perdagangan barter ditiadakan. Uang menjadi pihak ketiga yang membuat penjual dan pembeli bisa tidak bertemu untuk saling menukarkan barangnya melainkan diperantarai uang tersebut. Jika dulu ada proses sentuhan kepribadian antara individu penjual dan pembeli ketika hendak melakukan barter maka kini tidak ada lagi.
Dengan kejadian ini, uang membuat segala sesuatu yang dihargai menurut nilainya menjadi sama. Terjadi anonimisasi atau depersonalisasi. Uang menyingkirkan salah satu aspek manusia sebagai makhluk pembeda. Kalau makhluk pembeda cenderung disamakan sekaligus dibedakan, uang membuatnya hanya disamakan. Semua hal, termasuk orang, adalah sama di hadapan uang, yaitu dapat dijual atau dibeli. (Hardiman, 2016)

Karena uang adalah suatu ukuran nilai yang objektif maka penggunaannya meningkatkan rasionalitas dalam transaksi antar pribadi. Tidak ada lagi hak dan kewajiban timbal-balik dalam interaksi sosial tradisional, bahkan individu pun sebagai pribadi dinilai dengan uang. Manusia tidak lagi dipandang sebagai individu manusia seutuhnya melainkan sebagai “berapa banyak uangnya”. Di pasar, seorang penjual tidak mengetahui siapa pembelinya kecuali jika pembeli itu memiliki uang yang cukup. Perkembangan moneter dapat menghambat perkembangan hubungan pribadi bahkan pada saat mereka sedang memperluas ruang lingkup hubungan tersebut. Bahkan dalam ekonomi pasar uang, uang itu sendiri diperdagangkan sebagai komoditi yang mempunyai “nilai” tersendiri.
Uang yang awalnya hanya alat tukar akhirnya dijadikan tujuan akhir dan memiliki otonominya di hadapan pemiliknya. Uang dapat mempertinggi kebebasan individu. Dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh perhitungan moneter maka ada kecenderungan bahwa setiap produk, jasa yang dapat diterima, atau pengalaman pribadi ditawarkan untuk dijual. Orang yang banyak uang dapat mengambil keuntungan dari kecenderungan ini dan dapat memperluas jangkauan pengalamannya dengan cara apa saja yang mereka mau. Gaya hidup individu tidak lagi banyak ditentukan oleh kebiasaan dan tradisi melainkan ditentukan oleh sumber-sumber keuangan yang mereka miliki untuk membeli perlengkapan yang diperlukan untuk gaya hidup yang mereka ingini. Dengan demikian, seakan-akan kebahagiaan hidup terkait dengan kepemilikan uang. Uang lalu dijadikan “Allah” zaman modern. Kepemilikan uang menimbulkan “rasa damai dan aman”, seperti “perasaan yang ditemukan orang saleh di dalam Tuhannya”. Dan perasaan seperti itu tidak ditimbulkan oleh jenis-jenis kepemilikan lainnya. (Johnson, 1981; Hardiman, 2016)

Uang dapat mengubah karakter pemiliknya menjadi mirip dengan karakter uang itu sendiri, yaitu memiliki sikap berjarak, anonim, atau tidak peduli perbedaan individual. Karena uang adalah cakupan umum segala nilai dan interseksi umum atas rentetan tujuan-tujuan maka sikap-sikap pemilik uang akan dibentuk oleh uang yang dimilikinya. Menurut Simmel, sikap blasé manusia urban adalah produk uang.(Hardiman, 2016)
Pemilik uang membentuk sikap blasé pemiliknya dan sebaliknya juga terjadi. Sikap blasé memungkinkan manusia urban bertransaksi dengan uang, dengan cara yang anonim. Fenomena ini pun banyak terlihat dan cenderung meningkat pada pola perilaku masyarakat Jakarta dewasa ini.

Kesimpulan dan Kritik
Pandangan Simmel tentang uang dan masyarakat kota metropolitan ini menginspirasi pemikiran Max Weber dalam Etika Protestannya. Georg Lukacs pun menggunakan analisis tentang uang ini dalam menginterpretasikan fetisisme komoditasnya Karl Marx. Kecenderungan kehidupan mental masyarakat Jakarta dalam budaya uang bahkan sampai pada generasi mudanya pun saat ini menjurus pada praktek sikap blasé sampai pola interaksi seperti yang diungkapkan dalam pemikiran Simmel ini. Analisanya tentang budaya uang dan kehidupan metropolis ini sangat mengena pada masyarakat di kota-kota besar di Indonesia saat ini. Uraiannya yang analitis seperti peran uang saat ini dan fenomena men-“Tuhan”-kan uang memang terjadi baik dalam simbol mode fashion maupun komoditas uang itu sendiri dalam ekonomi moneter dan pasar uang.

Walaupun demikian, Simmel seakan-akan tidak melihat adanya pengecualian-pengecualian dalam bentuk pola kolektivitas masyarakat yang mencakup banyak variasi individu dan struktur kelas sosial di masyarakat. Oleh karena itu bisa saja kita mengatakan bahwa pemikirannya ini hanya refleksi superfisial atas kelas menegah Jerman di jamannya.

Rentang minat pemikiran Simmel yang luas dan terfragmentasi secara metodologis kurang sistematik dibandingkan Marx, Durkheim atau Weber. Hal ini membuat pemikirannya dianggap kurang fokus oleh banyak kritikus. Marxisme mengkritik Simmel bahwa ia tidak memperlihatkan jalan keluar terhadap tragedi budaya ini.