Sabtu, 19 Februari 2011

Psikiater, Perkawinan dan Seks

Perubahan nilai yang begitu cepat dalam kehidupan kita saat ini karena kemajuan teknologi informasi dan media mengakibatkan kita bingung dalam menyikapi nilai-nilai perkawinan saat ini. Di tengah kebingungan ini, sekiranya perlu juga kita merefleksikan kembali arti kasih sayang ini dengan nilai-nilai dan makna perkawinan sebagai komitmen untuk saling mencintai. Refleksi ini menjadi penting ketika saat ini kita melihat di sekitar kita terjadi peningkatan perceraian, perselingkuhan yang diawali dengan teman tapi mesra (TTM) dan maraknya praktek-praktek seks di luar perkawinan.

Semua “kekacauan” ini berdampak negatif pada generasi muda, yang katanya penerus bangsa, karena membuat banyak anak-anak hasil produksi ‘broken home’. Hancur sudah dasar-dasar pola asuh dalam masa perkembangan sang anak sebagai pondasi nilai-nilai kehidupannya kelak di masa dewasa.
Tulisan ini adalah hasil pengamatan yang diambil dari pengalaman penulis dalam berpraktek sebagai psikiater keluarga dan perkembangan anak.

Masalah Komunikasi dan Gangguan Jiwa
Banyak masalah perkawinan dikaitkan dengan masalah komunikasi yang buruk antara suami dan istri sehingga akhirnya mereka merasa tidak ada lagi kecocokan satu sama lain. Pertanyaannya adalah mengapa komunikasi yang begitu baik pada awal mula pacaran sampai ke pernikahan sekarang menjadi buruk? Memang ketika jatuh cinta (kejadian yang tidak dapat dikendalikan oleh kita) segalanya menjadi indah dan komunikasi macam apa pun akan selalu ‘lancar’ tetapi ketika sama-sama berkomitmen untuk tetap saling mencintai (kejadian ini harusnya dapat dikendalikan secara sadar oleh kita karena mencintai adalah pilihan) seharusnya sudah dapat mendeteksi masalah ‘plus dan minus’ dari komunikasi tersebut! Menikah adalah komitmen untuk memilih saling mencintai ‘partner’ kita untuk mencapai ‘goal’ bersama di hari tua.
Mengapa komunikasi ini menjadi buntu? Bertolak dari definisi Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang kesehatan mental yaitu: Perasaan sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan bersikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain maka jika kita tidak dapat menerima pasangan apa adanya bisa jadi dikarenakan faktor-faktor seperti:

1. Salah satu pasangan atau keduanya mengalami gangguan jiwa, baik yang memang gangguan karena faktor genetik (skizofrenia, bipolar, paranoia) dan lingkungan (depresi dan cemas akibat gangguan penyesuaian lingkungan) maupun gangguan jiwa yang dibuat sendiri seperti memakai narkoba dengan alasan untuk mencari kebahagiaan.
2. Gangguan kepribadian juga berperan penting dalam hubungan suami dan istri. Gangguan kepribadian yang sering menyebabkan “perang dunia” adalah gangguan kepribadian narsisitik yang merasa dirinya paling benar dan spesial sehingga selalu perlu didahulukan karena merasa dirinya lebih penting, gangguan kepribadian histrionik yang tak pernah cukup minta diperhatikan oleh pasangannya, gangguan kepribadian anankastik yang selalu mencari dan menuntut kesempurnaan bagi dirinya sendiri dan pasangannya. Jika salah satu atau kedua individu sudah terserang gangguan kepribadian ini maka tidak ada satu orang pun pasangannya yang akan ‘tahan’ hidup bersama lagi. Sebenarnya gangguan ini sudah tampak bila diperhatikan secara cermat sejak masih masa pacaran dahulu, walaupun dalam satu dua kasus ada pasangan yang pandai menyembunyikan dirinya sebelum perkawinan.
Jika gangguan jiwa dan gangguan kepribadian ini sudah ikutan berperan maka semua orang tahu bahwa kita tidak akan bisa berkomunikasi dengan normal pada orang dengan gangguan kejiwaan.

Perselingkuhan, Nilai Masyarakat, dan Puber Kedua
Biasanya ketika seseorang mengalami kebuntuan komunikasi dengan pasangannya, mereka akan mencari teman dekat untuk ‘curhat’. Nah biasanya teman dekat untuk ‘curhat’ ini tidak terlatih untuk bersikap objektif, sering kali mereka menjadi bersimpati dan bahayanya dengan terlalu simpati adalah nasehat-nasehatnya akan sangat tidak rasional untuk menjaga keutuhan perkawinan. Belum lagi keterbatasan wawasan akibat kurangnya pengalaman dalam menghadapi masalah-masalah perkawinan dan gangguan jiwa akan mengakibatkan penilaian yang salah dan nasehat yang keliru. Risiko yang lebih besar lagi adalah ketika teman ‘curhat’ tersebut adalah lawan jenis! Yang tipe seperti ini biasanya dapat di-‘follow up’ menjadi TTM, lalu urusan perselingkuhan sampai seks!
Sebenarnya istilah puber kedua adalah istilah yang sampai sekarang masih menjadi kontroversi sebab ternyata perselingkuhan dan hubungan seks di luar pernikahan bukan dipengaruhi oleh keadaan hormonal saja melainkan banyak faktor biopsikososial lainnya seperti kebutuhan dasar manusia yang selalu ingin diperhatikan, akibat tuntutan pekerjaan maka waktu bersama istri yang lebih sedikit dibandingkan bersama rekan kerja (apalagi kalau rekan kerjanya perhatian pula) dan tentunya setiap bertemu istri, istri tidak bersolek secantik teman kerja.
Hal lain yang juga mempengaruhi adalah gaya hidup saat ini seperti bermain golf dengan caddy atau pelatih yang ‘moleh-moleh’, spa dengan terapis yang ‘bohai-bohai’, karaoke dan lain-lain yang tentunya didampingi ‘pendamping’ yang memiliki service lebih oke dibandingkan di rumah.
Nilai-nilai masyarakat juga kadang mendorong seseorang untuk memiliki ‘simpanan’ dengan dalih bahwa semakin ‘bonafid’ seorang pengusaha maka maklum dan wajar jika memiliki wanita lain. Belum lagi nilai-nilai korupsi yang merajalela di Indonesia seringkali juga menyuguhkan sogokan berupa seks.

Cinta dan Kesehatan Mental
Akhir kata, sekali lagi penulis mengingatkan bahwa masalah perkawinan dan cinta kasih ini sangat berhubungan erat dengan mekanisme kerja sistem mental kita di otak yaitu cara pikir, berperasaan dan bertingkahlaku dalam hubungan dengan lingkungan dan sesama, khususnya ‘partner’ hidup kita.
Insting primitif kita dalam hal seksual seringkali menjebak kita sehingga gagal mencapai “GOAL” (fungsi luhur otak yang paling tinggi adalah mempunyai tujuan) dalam ‘companionship’ cinta kasih perkawinan. Untuk mencegah kegagalan itu, kita harus selalu memiliki kewaspadaan dalam setiap pikiran, perasaan, dan perbuatan kita sebelum terjebak dalam kecanduan-kecanduan haus cinta kasih dan seksual akibat stimulasi berlebihan pada brain reward system di otak kita.
Hati-hati dengan kondisi kesehatan mental dan gangguan kepribadian yang mungkin menghampiri kita atau pasangan kita dan bila perlu hal seperti ini dikonsultasikan pada profesional daripada ke teman, yang mana karena ketidak-profesionalannya bisa berakibat menyelesaikan masalah dengan masalah baru.
Cinta yang sejati membawa ketenangan dan meningkatkan kesehatan mental kita tetapi cinta yang palsu hanya akan membawa kebimbangan dan ketidaktenangan dalam hati kita.

1 komentar:

  1. Dok saya mau minta saran, saat ini pasangan saya didiagnosis bipolar. Tanda2 selama saya ngejalanin hubungan sama dia itu adalah mood nya yang sangat sering berubah, terutama saat masa mania nya datang. Sifat narsistik yang haus banget sama perhatian dari semua orang, dan bahkan beberapa kali saya pergokin dia selingkuh yang setelah saya cari tahu lagi ternyata karena dia haus perhatian yang kadang tidak didapat dari saya.
    Pertanyaan saya, kalau saya mau bertahan sama dia apa yg harus saya lakukan dok? Apa cukup dengan bersifat sabar aja? Karena sayapun ngeliat hal negatif yg pernah dia lakukan ke saya gak akan berhenti cukup sampai disini aja, dan sebaliknya saya gak tau sampai dimana level sabar yg saya miliki bisa bertahan digempur abis2an kya gini.
    Ada ga dok metode khusus yg bisa saya terapkan untuk menghadapi penderita bipolar seperti ini agar kondisinya bisa saya kendalikan?
    Kalau untuk ninggalin dia saya rasa gak mungkin, pasti dokter tau konsekuensi apa yg akan terjadi saat penderita bipolar down dan merasa diabaikan. Satu2nya jawaban yg saya punya saat ini hanya ngejaga dia, tapi saya bingung gimana caranya. Thank you

    BalasHapus