Rabu, 27 Mei 2015

Pengalaman berkesan belajar di RSJ Sawa (Sawa Hospital) Osaka

Osaka, Musim dingin Januari, 2015.

Undangan Dr Yutaka Sawa untuk belajar di Rumah Sakitnya di Toyonaka City dan Osaka City serta di Senri Emergency hospital membuat saya memilih musim dingin di tengah-tengah masa liburan semester program matrikulasi filsafat saya. Tgl 12 Januari 2015 saya tiba di Kansai Airport dan hari itu adalah hari libur dimana orang Jepang merayakan hari kedewasaan yaitu seorang anak laki (boy) dianggap menjadi laki-laki (Man)

Kalau kita sering katakan bahwa orang Indonesia adalah bangsa yang ramah ternyata bangsa Jepang (yang telah menyakitkan hati ayah dan kakek saya karena kekejamannya saat masa pendudukan jepang di Asia) adalah bangsa yang sampai sekarang adalah bangsa yang dapat menghormati orang lain. Mereka bukan hanya menghormati tamu melainkan juga sangat menekankan saling menghormati di antara mereka sendiri (mereka bukan orang-orang yang suka main serobot apalagi serobot hak orang lain seperti di Indonesia). Di jalan-jalan mereka begitu patuh pada peraturan, menjaga kebersihan dan bisa mempersilahkan orang lain untuk jalan lebih dahulu, setidaknya itu yang saya perhatikan. Belakangan saya juga baru tahu bahwa OSaka adalah salah satu kota teraman di dunia.

Ada perbedaan antara karakter orang di daerah Kansai (Osaka termasuk daerah Kansai dan dulu waktu kecil saya tahunya Kansai itu merk cat - Kansai paint). Mereka lebih egaliter dan bersahabat, tidak jaim dalam berteman dan Dr Sawa adalah guru yang sangat-sangat baik bagi saya apalagi sebagai role model. Ia bukan hanya seorang psikiater yang secara genetik memang psikiater (ayahnya dan ke dua anak laki-lakinya adalah psikiater. Ia adalah manager dan juga entrepreneur di bidang kesehatan jiwa. Ia hidup begitu sederhana sampai-sampai ketika diantar pulang sambil menunggu bis di halte bisa yang akan membawa saya ke airport setelah kami makan malam bersama, saya bertanya penasaran kepada beliau tentang apakah mobil beliau sesungguhnya karena saya selalu diajak naik taxi atau mobil dinas operasional rumah sakit selama saya di Osaka. Beliau rupanya hanya mempunyai sebuah VW city car tahun 1990-an! Penampilannya sangat sederhana padahal beliau adalah pemilik 2 RSJ dan banyak apartemen yang disewakan kepada karyawan, umum dan pasien-pasien jompo serta usaha catering service untuk pasien-pasien jompo tersebut.

Semua usahanya itu adalah usaha nir-laba yang dibuat bukan semata-mata untuk kekayaannya sendiri seperti kebanyakan kita di Indonesia membuat semua usaha demi kita bisa pakai barang mewah, mobil mewah dan lainnya. Keuntungan usaha yang tidak besar itu digunakan untuk pengembangan dan dikembalikan untuk kesejahteraan pasien-pasiennya. Hutangnya juga banyak untuk membiayai idealismenya tetapi disupport betul oleh pemerintah yang tidak korupsi! Hal ini yang belum bisa kita dapatkan di Indonesia. Saya ingat pengalaman beberapa tahun lalu ketika salah seorang teman saya mengajukan bahwa panti rehabilitasi mental dapat dibantu dana dari dinas social dengan potongan sekian persen ketika pencairan dana, tentu saja kita semua langsung sepakat untuk menolak dan lebih baik swadaya sendiri dengan dibantu oleh para donatur saja.

Neuroimaging pada Lansia

Angka harapan hidup yang tinggi di Jepang membuat populasinya banyak berusia tua atau bahkan sangat tua. Banyak gangguan mental yang muncul akibat proses degenerasi otak. Saya banyak belajar tentang bermacam-macam dementia (kepikunan), mulai dari Alzeimer yang paling banyak lalu dementia Parkinson, dementia lobus frontotemporalis (perilaku menjadi terdisinhibisi dan seenaknya melanggar norma-norma dan aturan), dementia vascular (akibat kelainan peredaran darah otak atau pasca stroke, termasuk stroke lobus frontalis), banyak senile psikosis (bukan late on set skizofrenia).

Di Jepang tidak banyak aturan seperti di Indonesia yang mengharuskan ijin praktik dll, selama kita didampingi oleh dokter penanggungjawab pasien maka kita boleh ikut periksa pasien (tentunya yang bisa berbahasa Inggris karena saya tidak bisa berbahasa Jepang kecuali sedikit sekali bahasa sehari-hari yang dipelajari dari buku wisata). Kita mendiskusikan pengobatan apa saja yang menjadi pengalaman di Indonesia dan bagaimana di Jepang,
Karena banyak pasien lansia maka saya mempelajari pemeriksaan/ asesmen awal pasien-pasien ini termasuk dengan pemeriksaan-pemeriksaan canggihnya yang telah menjadi standar untuk data base awal pasien dirawat sehingga mudah dibandingkan saat follow up dan semua itu diganti oleh system asuransi pemerintah (bandingkan dengan BPJS di Indonesia yang sangat membatasi pemeriksaan dan pengobatan). Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, EEG, CT scan, MRI, Xenon-CT Scan semua dilakukan untuk melihat fungsi dan struktur otak pasien sejak awal masuk. Asosiasi neuropsikiatri Jepang (istilah psikiater tetap menggunakan istilah neuropsikiater walaupun ada sendiri asosiasi neurologi Jepang) mempunyai data standar kondisi otak orang Jepang yang menjadi dasar pembanding dan golden standar ketika kita melihat hasil MRI pasien orang Jepang. Dari pembacaan itu dan gejala klinis kita bisa lebih tepat mendiagnosis arah dari penyakit pasien misalnya lebih ke dementia lewy body (Parkinson) atau dementia vascular atau hanya kearah senile psikosis.

ECT (Electro Convulsive Therapy) dengan anestesi

Terapi ECT dengan anestesi tidak dilakukan oleh ahli anestesi jika tidak ada ahli anestesi (karena keterbatasan ahli anestesi) melainkan dilakukan oleh 2 orang psikiater, yang satu operator ECT dan satunya lagi melakukan anestesi dan dibantu beberapa perawat. Dasar dari legalitas ini adalah bahwa sewaktu kita (semua dokter termasuk di Indonesia) sekolah kedokteran umum, kita telah diajarkan dan memiliki kompetensi anestesi dasar (bandingkan dengan di Indonesia, pake ancaman tuntutan hukumlah tidak seusai kompetensilah dll dll tuduhan negative). Satu seri terapi dilakukan 12x dengan selang waktu sehari dan prosedur selebihnya sama dengan yang dilakukan di Indonesia. Cukup banyak pasien yang di ECT maintenance baik yang seminggu sekali atau sebulan sekali. Kebijakan di RS Sawa, pasien yang diusulkan untuk di ECT harus mendapatkan persetujuan di rapat komite medik yang dilakukan seminggu sekali pada hari Selasa. Sebagai dokter tamu dan tidak bisa berbahasa Jepang, saya tetap ikut rapat tersebut dengan dibantu penerjemahan oleh teman sejawat yang bisa berbahasa Inggris (tidak semua dokter Jepang lancar berbahasa Inggris karena Jepang memiliki semua terjemahan bahasa Inggris ke dalam bahasa Jepang dan bahkan diagnosis penyakit dengan istilah Jepang).

Profil dokter Psikiater di Jepang

Dr Deguchi dan Dr Saito adalah dua orang dokter psikiater yang dulunya berspesialisasi non psikiatri. Setelah 7 tahun bekerja sebagai ahli gastroentero-hepatology, Dr Deguchi yang seusia dengan saya memutuskan untuk ganti spesialisasi menjadi psikiater, oleh sebab itu ia melamar ke RS Sawa mulai dari nol sampai lulus ujian nasional sebagai psikiater di Jepang. Dr Saito adalah ahli kanker Paru yang pernah bekerja di NIH di Amerika dalam penelitian kanker paru, beliau sudah jauh lebih tua daripada saya dan saat ini masih mempersiapkan ujian nasional sebagai psikiater di Jepang.
Dr. Nakakita adalah psikolog klinis yang ketika berusia 30 tahun masuk kuliah kedokteran lalu melanjutkan menjadi psikiater, Dr Kobayasi adalah ahli neuroscience yang kemudian masuk kedokteran dan melanjutkan menjadi psikiater (lebih muda dari saya 6 tahun). Dr Tan adalah psikiater dari Xian-China yang karena ikut suami bertugas di Jepang maka ikut ujian persamaan dokter kemudian “adaptasi” belajar istilah-istilah kedokteran Jepang setahun lalu bergabung di RS Sawa sebagai psikiater.
Sistem pendidikan spesialis di Jepang tidak berbasis universitas/ fakultas kedokteran. Mereka bisa langsung bergabung di RS pendidikan seperti RS Sawa ini, dibimbing oleh senior-senior mereka dan kemudian mengajukan 8 kasus dan jurnal dan kemudian diuji nasional lalu mendapatkan sertifikat sebagai psikiater nasional yang boleh melakukan semua tindakan (sebelum lulus ini tidak boleh melakukan semua tindakan tanpa supervise). Tindakan yang dimaksud diantaranya adalah ECT, rapid neuroleptisasi pasien akut dan membuat laporan visum et repertum psikiatrikum. Kalau di Indonesia kita harus bayar mahal untuk biaya adaptasi dan pendidikan spesialis maka di sana dokter dokter itu digaji sejak internship dan adaptasi pun digaji! Bandingkan dengan Indonesia yang berPancasila!

Rehabilitasi psikososial

Rehabilitasi psikososial bagi pasien adalah salah satu keunggulan dari RS Sawa, setidaknya ada 4 tujuan dalam rehabilitasi psikososial ini.
1. menggangkat kembali harga diri pasien yang sebelumnya dilayani sekarang bisa melayani dan membantu orang lain
2. mengurangi stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa di masyarakat
3. membantu sebagai penghubung komunikasi atau membantu mengawasi penduduk usia sangat tua yang dilayani jika perlu pelayanan kesehatan.
4. mendapatkan penghasilan dari hasil kerjanya.

Di sebrang RS ada toko roti yang seluruh karyawannya (kecuali 3 orang supervisor yang adalah staf RS) adalah pasien dengan gangguan kejiwaan. Rotinya enak dan dijual di toko-toko mini market, disalurkan untuk makan pagi karyawan dan pasien RS serta ke rumah-rumah jompo.

Program layanan makanan catering untuk penduduk usia tua (very senior citizen) adalah program dimana yang mengantarkan makanan adalah pasien dengan menggunakan sepeda, berkeliling mengantarkan makanan ke rumah rumah pelanggan yang berlangganan catering ini.

Program rehabilitasi lainnya adalah pelayanan daycare untuk pasien-pasien yang membutuhkan social skill training, memory training sampai program untuk orang tua dengan dementia (penyakit kepikunan) berat.

Semua program ini didanai bersama antara pemerintah dan swadaya masyarakat/RS. Sistem pensiun dan tunjangan untuk orang tua yang diberikan oleh pemerintah dapat digunakan untuk layanan catering service dan layanan rehabilitasi day care.

Di sekitar RS (termasuk apartemen saya tinggal yang disediakan oleh RS) adalah apartemen-apartemen yang disediakan untuk "group home" yaitu rumah tinggal bersama beberapa warga very old senior atau pasien-pasien dengan gangguan jiwa yang sudah "ditolak" keluarganya. Mereka tinggal bersama dan membentuk komunitas baru bersama-sama sambil diawasi kesehatan mental dan fisiknya oleh para perawat dan pekerja sosial RS.

Simpulan
Dari semua hal yang saya pelajari, observasi dan alami di Osaka, terlihat jelas bahwa dasar pemikiran positif dan keinginan membantu sesama sebagai makna hidup mencapai tujuan akhir yaitu kebahagiaan hidup sudah menjadi satu dalam cara hidup Dr Sawa. Tujaun hidupnya bukan menikmati kenyamanan hidup dengan kemewahan melainkan terus mengembangkan program-program untuk melayani masyarakat terutama masyarakat dengan gangguan mental dan psikososial. Dokter-dokter yang bekerja di RS tersebut termasuk karyawan lainnya juga puas atas penghargaan yang mereka terima baik berupa gaji maupun insentif lainnya serta perhatian personal dari pemilik RS.
Manajemen RS Sawa jauh dari gaya kapitalisme beberapa manajemen jaringan RS swasta di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar